Karena Aji sudah menganggapmu sebagai saudara seperguruannya maka akupun tidak akan sungkan lagi terhadapmu anak muda. Adakah hal yang ingin kau tanyakan dan menjadi keragu-raguanmu?", lanjut kakek tua itu menjelaskan.
Kakek tua itu seperti tahu isi hatiku. Memang ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan. Melihat kesempatan ini aku tidak akan melewatkannya sedikitpun.
Sebelum memulai pertanyaan, aku membungkuk hormat.
"Terima kasih kek dan mohon maaf atas kelancanganku. Begini, ketika aku mengerahkan Raja Sampun dengan sekuat tenaga namun hasilnya tidak seperti yang kuharapkan meskipun juga tidak jelek-jelek amat. Akan tetapi saat kulihat Aji juga mengerahkan ilmu ini kok ya aku melihatnya tidak sekeras seperti yang kulakukan? Dimana kekeliruanku kek?", tanyaku kepada kakek tua itu.
"Hmm... begitu ya? Terhadap apa Raja Sampun itu kau kerahkan anak muda?", tanya kakek tua itu kepadaku.
Tanpa banyak bicara, aku melihat Aji menyerahkan sebatang ranting pohon yang terkena Raja Sampun milikku dan milik Aji. Ia menyerahkannya sambil menunduk. Sungguh terasa penghormatan murid kepada gurunya.
Kakek tua itu kemudian menerima sepotong ranting dengan tangan kanannya kemudian mengamati ranting tersebut.
"Hmmm... Pantas... Begitu ya... Aku mengerti...", ucap kakek tua itu sendirian sambil mengamati ranting dari ujung ke ujung.
"Anak muda, ketahuilah bahwa hasil akhir bisa saja sama meskipun berjalan dengan proses yang berbeda. Menyambungkan ranting yang patah tidak hanya bisa dilakukan dengan ilmu Raja Sampun melainkan juga bisa dengan ilmu-ilmu yang lain. Bahkan dengan pemahaman tertentu tanpa memahami ilmu-ilmu khususpun bisa dilakukan.
Anak muda, apa dasarnya ranting ini kau sambungkan dengan Raja Sampun?", tanya kakek tua itu kepadaku.
Aku menunduk hormat.