"Maafkan jika penyambutan kami agak kurang berkenan di hatimu anak muda...", ucap kakek tua itu. Aku paham maksudnya pasti ucapan tersebut ditujukan kepadaku.
"Kakek kedatangan tamu yang merupakan kawan lama kakek sehingga sedikit mengabaikanmu anak muda. Sementara ini biarlah Dewi yang menemani tamu kakek. Nanti juga tamu kakek akan bergabung ke ruangan ini.", lanjut kakek tua itu.
"Bagaimana perasaanmu melihat padepokan kecil ini?", lanjut kakek tua itu.
"Luar biasa kek... Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku. Rasanya aku merasa nyaman dan bahagia berada disini. Aku juga menjumpai orang-orang yang berilmu tinggi dan sangat rendah hati. Seperti Aji di sampingku ini...", jawabku apa adanya.
"Kisanak terlalu merendah...", ucap Aji menimpali jawabanku barusan. Aku melihat kakek tua itu tersenyum.
"Tidak Aji, yang kukatakan memang apa adanya yang kurasakan. Banyak orang-orang berilmu tinggi dan sangat rendah hati di tempat ini. Seperti misalnya ketika aku di kolam air bersama Darmo dan mengerahkan Bendung Banyu. Aku tahu sebenarnya aku sudah kalah. Kalaupun Darmo menambah sedikit saja tenaganya, dipastikan aku pasti luka dalam. Namun yang kulihat Darmo mengurangi tenaganya dan beberapa kali menghentikan serangan yang nampaknya akan mencelakaiku. Aku merasakan ada ajaran welas asih pada keilmuan yang dikerahkan Darmo. Ini sangat berbeda dengan rasa keilmuan yang kumiliki. Meskipun mungkin bisa kulakukan dengan hasil yang sama, namun ketika berbenturan dengan tenaga Darmo rasanya sangat berbeda.
Termasuk juga ketika Aji mengajariku Kidang Telangkat tahap dasar. Meski aku tahu sesungguhnya Aji merasa ada yang berbeda pada pemahamanku, namun ia tidak serta merta mengkoreksinya. Hal ini juga terjadi saat kami mencoba mempraktekkan Raja Sampun. Meski hasil akhirnya sama, namun aku yakin apa yang dipelajari disini jauh lebih murni. Bahkan aku merasa kalau caraku memahami ilmu yang kupelajari selama ini bisa jadi agak keliru atau malah sangat keliru kek...", lanjutku berterus terang.
Aku melihat raut terkejut di wajah kakek tua itu sekejap.
"Wah ternyata sudah sejauh itu ya kalian berinteraksi? Bagus sekali! Bagus sekali!
Aiih... ini sudah kehendak langit... Aku hanya memuluskan jalan saja...", ucap kakek tua itu dengan penuh semangat.
"Ketahuilah anak muda, tidak mudah bagi orang luar untuk bisa diterima disini dan akrab bersama muridku Aji. Padepokan ini sangat tertutup dari orang luar. Kami sangat selektif terhadap setiap tamu yang kami terima disini. Dari sorot matanya dan nada bicaranya aku merasakan penerimaan Aji terhadapmu anak muda. Apalagi saat aku melihatmu mengenakan seragam perguruan kami, dipastikan Aji juga merasa suka terhadapmu anak muda sehingga ia mau dan mengizinkanmu menggunakannya. Ia sudah menganggapmu sebagai saudaranya sendiri.