DUA BATU YANG BERPUTAR
Aku dan Aji masih asyik berbincang-bincang hingga kemudian perbincangan kami dikejutkan oleh sebuah suara yang berasa akrab di telinga. Rupanya kakek tua yang pernah menyelamatkanku itu sudah berada tidak jauh dari kami. Aku tidak tahu kapan kakek tua itu datang.
"Nampaknya pembicaraan kalian sangat seru...", suara kakek tua itu menghentikan perbincangan kami.
"Guru...", ucap Aji secara spontan.
Aku melihat Aji menunduk dan memberikan hormat. Dengan rasa kikuk akupun melakukan hal yang sama. Hormatku dan Aji dibalas dengan anggukan dan senyum khas kakek tua itu.
"Ikutlah ke belakang bersamaku...", ucap kakek tua itu sambil memutar badan dan berjalan menuju belakang pendopo.
"Sendiko dawuh...", jawab Aji spontan sambil melakukan penghormatan kembali.
Aji kemudian langsung berdiri dan mengikuti kakek tua itu. Aku mengikuti Aji sedikit dibelakangnya. Kami semua berjalan menuju arah yang dimaksud oleh kakek tua itu yakni di pendopo belakang.
Setelah melewati sebuah pintu, kami semua masuk ke dalam pendopo yang letaknya lebih ke dalam lagi. Ruangan di dalam ini ternyata cukup luas. Terdapat juga beberapa meja, kursi panjang dan pendek dari kayu yang ditata rapi di pinggir-pinggir ruangan. Terdapat dua buah pintu di ujung yang satunya lagi. Kakek tua itu kemudian memilih sebuah kursi pendek yang berada tidak jauh dari pintu masuk pendopo dalam.
"Duduklah...", ucap kakek tua itu.
Aji langsung memilih tempat duduk didepan kakek tua itu pada kursi yang lebih panjang. Aku mengikuti Aji dan kemudian duduk disebelahnya.
"Maafkan jika penyambutan kami agak kurang berkenan di hatimu anak muda...", ucap kakek tua itu. Aku paham maksudnya pasti ucapan tersebut ditujukan kepadaku.
"Kakek kedatangan tamu yang merupakan kawan lama kakek sehingga sedikit mengabaikanmu anak muda. Sementara ini biarlah Dewi yang menemani tamu kakek. Nanti juga tamu kakek akan bergabung ke ruangan ini.", lanjut kakek tua itu.
"Bagaimana perasaanmu melihat padepokan kecil ini?", lanjut kakek tua itu.
"Luar biasa kek... Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku. Rasanya aku merasa nyaman dan bahagia berada disini. Aku juga menjumpai orang-orang yang berilmu tinggi dan sangat rendah hati. Seperti Aji di sampingku ini...", jawabku apa adanya.
"Kisanak terlalu merendah...", ucap Aji menimpali jawabanku barusan. Aku melihat kakek tua itu tersenyum.
"Tidak Aji, yang kukatakan memang apa adanya yang kurasakan. Banyak orang-orang berilmu tinggi dan sangat rendah hati di tempat ini. Seperti misalnya ketika aku di kolam air bersama Darmo dan mengerahkan Bendung Banyu. Aku tahu sebenarnya aku sudah kalah. Kalaupun Darmo menambah sedikit saja tenaganya, dipastikan aku pasti luka dalam. Namun yang kulihat Darmo mengurangi tenaganya dan beberapa kali menghentikan serangan yang nampaknya akan mencelakaiku. Aku merasakan ada ajaran welas asih pada keilmuan yang dikerahkan Darmo. Ini sangat berbeda dengan rasa keilmuan yang kumiliki. Meskipun mungkin bisa kulakukan dengan hasil yang sama, namun ketika berbenturan dengan tenaga Darmo rasanya sangat berbeda.
Termasuk juga ketika Aji mengajariku Kidang Telangkat tahap dasar. Meski aku tahu sesungguhnya Aji merasa ada yang berbeda pada pemahamanku, namun ia tidak serta merta mengkoreksinya. Hal ini juga terjadi saat kami mencoba mempraktekkan Raja Sampun. Meski hasil akhirnya sama, namun aku yakin apa yang dipelajari disini jauh lebih murni. Bahkan aku merasa kalau caraku memahami ilmu yang kupelajari selama ini bisa jadi agak keliru atau malah sangat keliru kek...", lanjutku berterus terang.
Aku melihat raut terkejut di wajah kakek tua itu sekejap.
"Wah ternyata sudah sejauh itu ya kalian berinteraksi? Bagus sekali! Bagus sekali!
Aiih... ini sudah kehendak langit... Aku hanya memuluskan jalan saja...", ucap kakek tua itu dengan penuh semangat.
"Ketahuilah anak muda, tidak mudah bagi orang luar untuk bisa diterima disini dan akrab bersama muridku Aji. Padepokan ini sangat tertutup dari orang luar. Kami sangat selektif terhadap setiap tamu yang kami terima disini. Dari sorot matanya dan nada bicaranya aku merasakan penerimaan Aji terhadapmu anak muda. Apalagi saat aku melihatmu mengenakan seragam perguruan kami, dipastikan Aji juga merasa suka terhadapmu anak muda sehingga ia mau dan mengizinkanmu menggunakannya. Ia sudah menganggapmu sebagai saudaranya sendiri.
Karena Aji sudah menganggapmu sebagai saudara seperguruannya maka akupun tidak akan sungkan lagi terhadapmu anak muda. Adakah hal yang ingin kau tanyakan dan menjadi keragu-raguanmu?", lanjut kakek tua itu menjelaskan.
Kakek tua itu seperti tahu isi hatiku. Memang ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan. Melihat kesempatan ini aku tidak akan melewatkannya sedikitpun.
Sebelum memulai pertanyaan, aku membungkuk hormat.
"Terima kasih kek dan mohon maaf atas kelancanganku. Begini, ketika aku mengerahkan Raja Sampun dengan sekuat tenaga namun hasilnya tidak seperti yang kuharapkan meskipun juga tidak jelek-jelek amat. Akan tetapi saat kulihat Aji juga mengerahkan ilmu ini kok ya aku melihatnya tidak sekeras seperti yang kulakukan? Dimana kekeliruanku kek?", tanyaku kepada kakek tua itu.
"Hmm... begitu ya? Terhadap apa Raja Sampun itu kau kerahkan anak muda?", tanya kakek tua itu kepadaku.
Tanpa banyak bicara, aku melihat Aji menyerahkan sebatang ranting pohon yang terkena Raja Sampun milikku dan milik Aji. Ia menyerahkannya sambil menunduk. Sungguh terasa penghormatan murid kepada gurunya.
Kakek tua itu kemudian menerima sepotong ranting dengan tangan kanannya kemudian mengamati ranting tersebut.
"Hmmm... Pantas... Begitu ya... Aku mengerti...", ucap kakek tua itu sendirian sambil mengamati ranting dari ujung ke ujung.
"Anak muda, ketahuilah bahwa hasil akhir bisa saja sama meskipun berjalan dengan proses yang berbeda. Menyambungkan ranting yang patah tidak hanya bisa dilakukan dengan ilmu Raja Sampun melainkan juga bisa dengan ilmu-ilmu yang lain. Bahkan dengan pemahaman tertentu tanpa memahami ilmu-ilmu khususpun bisa dilakukan.
Anak muda, apa dasarnya ranting ini kau sambungkan dengan Raja Sampun?", tanya kakek tua itu kepadaku.
Aku menunduk hormat.
"Maafkan aku kek, aku juga tidak tahu. Aku hanya pernah diberitahu oleh ayah mengenai kisah ilmu Raja Sampun ini. Kemudian ayah mengajariku pemahaman mengenainya, bukan tata latihannya. Hanya itu saja. Aku bisa menerapkan ini karena ayah sangat keras melatihku waktu itu. Dan aku pernah mempraktekkan pemahaman ini untuk menyambung kaki depan kucingku yang patah tergilas ban kendaraan.", jawabku apa adanya.
"Hmmm... begitu ya. Ketahuilah anak muda bahwa suatu keilmuan yang disebut original itu apabila ia menjalani satu set latihannya sesuai dengan pakem yang dilekatkan pada ilmu tersebut. Apabila seseorang hanya mendengar kisah mengenainya kemudian merasa mampu mewujudkan kisah tersebut pada kenyataan tidak serta merta membuat ia mengerti dan menguasai keilmuan tersebut. Sebab seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa hasil akhir bisa dicapai melalui pendekatan yang berbeda.
Jika proses latihan sudah berbeda meskipun hasil akhir sama maka ilmu tersebut tidak bisa disebut sebagai ilmu yang asli. Seseorang, dengan kecerdasannya dan nalurinya, bisa saja menemukan cara untuk menuju hasil akhir. Namun tetap saja cara tersebut mesti diperbandingkan dengan cara berlatih yang asli dari keilmuan tersebut.", jelas kakek tua itu.
"Apakah yang aku dan ayahku lakukan salah kek?", tanyaku penasaran.
Kakek tua itu tersenyum.
"Jika pandanganku terhadap keilmuan berbeda dengan ayahmu tentu saja itu sangat mungkin terjadi. Kenyataannya, kamu bisa menirukan sebuah hasil akhir yang bisa dikatakan mendekati hasil akhir aslinya. Dan sungguh ini bukanlah pekerjaan mudah. Ayahmu mesti seorang yang berbakat dalam ilmu silat. Namun jika kamu ingin belajar keilmuan disini itu artinya kamu harus mengikuti tata cara latihan yang ada disini.
Proses ini sesungguhnya yang sangat penting dibandingkan hasil akhir. Apabila proses dilakukan dan dilewati dengan baik maka hasil akhir akan mengikuti dengan sendirinya.", lanjut kakek tua itu.
Aku mengangguk dan sangat memahami maksud dari penjelasan kakek tua. Barangkali, inilah juga yang kemudian membuat keilmuanku menjadi bersifat "kurang matang". Mungkin ada beberapa bagian yang hilang dari proses yang semestinya kulewati namun kutafsirkan sendiri. Di permukaan mungkin terlihat sama. Namun apabila berbenturan dengan keilmuan aslinya nampaklah perbedaannya diantara keduanya. Semakin dalam level ilmunya maka perbedaan mendasar tenaganya semakin jauh bagaikan langit dan bumi.
"Pemahaman akan keilmuan memang memerlukan kejeniusan tersendiri. Kakek akan berikan satu contoh kecil.", ucap kakek tua.
Aku melihat pandangannya menyapu ke sekeliling. Kemudian ia berdiri dan berjalan kesamping, menunduk, dan memungut dua buah batu kecil dan kembali berjalan menuju tempat duduk sebelumnya.
"Anak muda, menurutmu mungkinkan dua jenis keilmuan yang berbeda sifat dapat disatukan? Misalnya, keilmuan berjenis air disatukan dengan keilmuan berjenis api?", tanya kakek tua itu kepadaku.
Aku mengangguk hormat.
"Menurutku tidak mungkin bisa dilakukan kek karena sifatnya yang sangat berlawanan.", jawabku sesuai dengan kadar pemahamanku.
"Adakah kemungkinan lain?", tanya kakek tua melanjutkan.
Aku mengerenyitkan dahiku. Memejamkan mataku, mencoba berpikir keras.
"Rasanya tidak mungkin kek. Sifat yang berlawanan tentu saja tidak akan bisa disatukan.", jawabku mantap.
"Seandainya aku ingin meleburkan batu di tangan kananku dengan batu di tangan kiriku ini, mungkinkah? Bagaimana caranya menurutmu anak muda?", lanjut kakek itu.
"Diubah struktur molekulnya? Atau dilebur dengan cara dipanaskan sangat tinggi?", jawabku spontan.
"Bagaimana jika kedua batu ini berbeda sifat, tentunya peleburan tidak akan bisa dilakukan dan pemanasan sangat tinggi akan merusak salah satunya bukan? Artinya, hal itu tidak akan bisa dilakukan.", jawab kakek itu langsung ke pokok persoalan.
Benar juga. Tidak mungkin bisa disatukan apabila batu yang kanan berbeda sifatnya dengan batu yang kiri. Secara reflek kepalaku menggeleng. Itu pertanda aku sudah tidak tahu jawabannya.
"Kedua batu ini tetap bisa 'menyatu' dan menghasilkan 'penyatuan' dengan cara diputar dengan sangat cepat pada posisinya menggunakan tenaga tertentu. Perhatikan...", jawab kakek tua itu.
Aku melihat batu yang berada di tangan kiri kakek tua itu diletakkan di telapak tangan kanan. Posisi kedua batu sejajar berjarak kurang lebih lima sentimeter. Kakek tua itu mengangkat sedikit telapak tangan kanannya dan mengarahkannya kepadau.
"Itu... itu batunya bergerak!", ucapku setengah berteriak.
Aku sangat terkejut. Tiba-tiba kedua batu itu bergerak dan berputar perlahan lalu lambat laun makin cepat dan makin cepat hingga aku tidak bisa melihat dimana posisi batu yang kanan dan yang kiri. Putarannya menjadi sangat cepat hingga yang kulihat hanya putaran itu saja. Lama-lama putaran itu berubah menjadi sebuah piringan disertai dengan kesiuran angin.
"Kedua batu yang berbeda sifat itu kini sudah 'menyatu'. Bukan menyatu dalam arti harfiah namun menyatu dalam pengkondisian yang lain. Dan ini akan melahirkan tenaga jenis baru.", jawab kakek tua itu menjelaskan.
DHEG...!
Dadaku seperti di palu godam. Apa yang dikatakan kakek tua itu benar sekali. Bagaimana menyatukan dua hal atau lebih yang berbeda sifat bukanlah semata-mata dengan meleburnya atau mencampurnya apa adanya. Sifat dan bahan yang berbeda tentu saja tidak memungkinkan untuk disatukan. Maka kakek tua dengan sangat cerdas menggunakan pendekatan lain. Aku jadi teringat, bahwa di dalam tubuh manusia terdapat imajinasi, niat, rasa, raga, kehendak, kesadaran dan banyak lagi. Semuanya merupakan jenis 'batu' yang berbeda sifat. Memaksakan melebur menjadi satu bukanlah dalam pengertian mencampurkan apa adanya seperti air dengan air. Melainkan mesti dengan cara lain.
"Apakah kamu mulai memahami sesuatu anak muda?", tanya kakek tua kepadaku.
Aku langsung mengangguk dengan mantap.
"Bagus!", jawab kakek tua itu singkat. Secepat kilat kakek tua itu menutupkan telapak tangan kanannya dan menangkap batu yang sedang berputar tersebut.
Percakapan kami dibuyarkan oleh sebuah suara wanita muda yang sangat nyaring terdengar.
"Kakeeeeek... aku dataaang..."
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Rupanya Dewi dan ada dua orang laki-laki keluar dari salah satu pintu di pendopo depan kami.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H