"Benar, bukankah seperti itu memang adanya?", jawabku.
"Secara kaidah bahasa memang benar, semua yang 'dipangkon' mesti harus 'mati'. Namun dalam memahami kaidah tenaga juga harus menggunakan pemahaman itu. Semua tembang yang diakhiri dengan 'Pangkon' maka pada saat pengerahan tenaga mesti harus dibuat 'mati tenaganya' atau 'berhenti'.
Sementara saat tenagaku berbenturan dengan tenagamu, kulihat tenagamu masih bersisa, belum sampai habis benar-benar. Hingga mudah sekali 'kumatikan'.
Dalam khasanah Jawa, semua tulisan yang menyertakan 'pangkon' maka harus dipahami dengan benar. 'Yen dipangkon, mati', dipahami secara kaidah tenaga bukan sekedar dibaca...", jawabnya dengan gamblang.
DHEG!
Dada ini bagai dipalu godam. Aku mengerti benar penjelasan Danang. Nampak sepele, namun sebenarnya kekeliruan itu menyebabkan perbedaan menang kalah yang jelas. Aku memejamkan mata, mengingat kembali Bab Tenaga, terutama pada tembang-tembang yang memiliki 'pangkon'.
Tanpa sadar aku larut dalam ingatanku, ada beberapa bagian pada Bab Tenaga yang memiliki sifat seperti yang dijelaskan Danang. Tanganku bergerak ke kanan dan kekiri, kadang memutar, kadang mendorong keras, kadang mendorong pelan.
Kemudian aku membuka mataku.
"Aku mengerti...", ucapku.
"Aku harus mencobanya...", ucap Danang dengan bersemangat. Ia langsung berdiri dan menyiapkan gerakan pembuka jurus pertama dari Bab Jurus.
Tanpa menunggu lama, akupun langsung berdiri. Semangatku kembali lagi, bahkan berkali-kali lipat dari sebelumnya.