Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 12

21 Juli 2016   14:32 Diperbarui: 21 Juli 2016   14:37 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurang lebih sepeminuman teh, aku melihat ayah tersenyum. Nampaknya semua jalur nadi tubuhnya sudah membaik dan lancar. Ayah melepaskan tangannya dari dadanya. Perlahan Bawono kemudian duduk didepan ayah. Aku hanya memandang dari dalam gubuk menyaksikan dua orang yang sebelumnya bertarung sengit kini duduk berhadapan nyaris tanpa emosi kebencian.

"Baru kali ini aku dikalahkan dengan ilmu yang sama. Kau juga menguasai Sapto Dahono, dengan tingkatan yang lebih tinggi dari yang aku kuasai. Aku mengaku kalah. Kau bisa melakukan apapun terhadapku...", jawab Bawono perlahan sambil menunduk. Ia tampak pasrah.

"Aku hanya ingin bersaudara denganmu... Aku tidak ingin menjadi musuh...", ucap ayah perlahan sambil tersenyum.

Bawono terdiam. Ia kemudian mendongakkan kepala.

"Baiklah... karena secara ilmu kau lebih hebat dariku, maka kau kuanggap sebagai kakak seperguruanku... darimanapun asal ilmumu... Aku, Bawono, hari ini mengaku kalah olehmu... Tapi suatu hari nanti aku akan datang lagi dengan ilmu yang lebih hebat untuk mengalahkanmu...!", jawabnya.

Ayah mengangguk. Persaudaraan, tentu lebih penting dari adu keilmuan. Aku paham benar sifat ayahku. Ayah pasti melepaskannya.

Bawono kemudian berdiri, ayah juga ikut berdiri. Bawono lalu membungkuk dan membalikkan badan lalu dengan cepat berlari menjauhi gubuk kami. Aku tidak melihat raut bahagia dari wajah ayah. Ayah kemudian masuk kembali ke gubuk dan duduk didepanku.

"Kamu tahu nak, saat musuhmu sudah terlihat lemah didepanmu dan kamu bisa melakukan apapun sebagai orang yang kuat dan punya hak melakukan itu, maka disanalah ujian keilmuan itu hadir...", ucap ayah.

Aku terdiam. Seluruh tubuhku merinding mendengar ucapan ayah.

"Sungguh, ingin hati ini mengatakan 'ilmuku lebih hebat dari ilmumu' saat itu. Namun ayah ingat ajaran kakekmu mengenai bahayanya sebuah 'kesombongan kecil'. Kakekmu mengatakan bahwa kesombongan kecil itu bagaikan langkah semut hitam diatas batu hitam legam dimalam gelap gulita. Sangat halus tak terasa. Sebab seringkali kesombongan itu hadir melalui pintu-pintu yang tidak kita perkirakan. Jika ia datang pada satu pintu lalu kita berhasil menutup rapat-rapat pintu itu, maka ia akan mencoba masuk dari pintu yang lain. Demikian seterusnya, kesombongan akan berusaha mencari pintu-pintu kelemahanmu yang terbuka dan bisa dimasukinya.

Perhatikanlah ucapan ayah ini, ingat-ingatlah dengan baik... Mengetahui bagaimana cara kerja kesombongan adalah dengan memahami apa dan bagaimana kesombongan itu bekerja. Darisana kita bisa belajar untuk selalu ingat dan waspada. Dulu, kakek guru ayah juga pernah berkata bahwa memahami senjata adalah dengan mempelajari senjata. Ayah lalu mulai paham maksud ucapan kakek guru ayah. Hati-hatilah dengan kesombongan kecil. Karena untuk membesarkan api selalu dimulai dari kayu bakar yang terkecil terlebih dahulu...", lanjut ayah sambil menghela napas.

Aku menyimak ucapan ayah dengan seksama. Lalu menunduk merenungkan ucapannya, mengingatnya, dan meresapkannya kedalam sanubariku.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun