"Kau sebenarnya tahu bahwa kau sudah mencapai tahap yang dimaksudkan oleh ayahmu. Hanya saja kau tidak ingin menunjukkan itu didepan ayahmu karena kau begitu menghormatinya. Kau tahu ketika ayahmu memperagakan didepanmu, sesungguhnya kau sudah mencapai tahap itu. Bahkan kau merasa ada bagian yang sebenarnya bisa ditingkatkan...", jawab kakek tua itu dengan lugas.
Dheg!
"Da.. Darimana kakek tahu itu?", tanyaku dengan penuh penasaran. Aku sangat terkejut, kakek tua berbaju putih ini bisa mengetahui isi hatiku.
"Aku tahu dan sangat tahu... Karena akulah Ki Sapto Dahono. Ilmu yang kau pelajari adalah ilmu ciptaanku...", ucap kakek tua yang menamakan dirinya Ki Sapto Dahono. Kembali kakek tua itu tersenyum.
"Siapapun yang sedang berusaha melatih ilmu itu, aku pasti akan hadir dalam mimpinya. Karena mereka adalah pewarisku.", lanjut kakek tua itu.
"Engkau benar kek...", ucapku lirih. Entah kenapa rasanya lutut ini seperti dilolosi tulang-tulangnya. Berasa begitu lemas. Aku kemudian terduduk di depan kakek tua yang bernama Ki Sapto Dahono.
"Ketahuilah cucuku, ilmu Sapto Dahono itu terdiri dari sepuluh tingkatan. Kamu baru menguasai tingkat tiga. Namun berkat kecerdasanmu, kamu tahu bahwa sesungguhnya ilmu itu bisa ditingkatkan. Ada pewaris lain dari ilmu ciptaanku itu yang sudah menguasai tingkat lima. Jika suatu saat nanti kau berjumpa dengannya, ampunilah dia. Sadarkanlah dia.", ucap Ki Sapto Dahono dengan tenang. Ucapannya seakan menembus jantungku.
"Berdirilah. Aku akan mewariskan lengkap kepadamu. Kelak, kaulah yang akan menjaga ilmu ciptaanku ini. Gunakan untuk kebaikan. Siapapun yang sudah menguasai ilmu ini, dimanapun kau kelak bertemu dengannya, maka ampunilah...", lanjut Ki Sapto Dahono.
"Dengarkan tembang Sapto Dahono ini..."
Kakek tua berbaju putih dan berjenggot putih yang menamakan dirinya Ki Sapto Dahono kemudian melantunkan tembang. Aku terdiam menyimak sambil meresapkan maknanya. Perlahan beberapa bagian tubuhku menghangat. Beberapa lagi rasanya seperti panas membara namun tidak menyakitkan. Aku mengerti, Ki Sapto Dahono memintaku untuk mengikuti alur tembang pada tubuhku. Tubuh yang kupahami sebagai miniatur jagad semesta besar. Dan kini, jagad alit itu sedang mengalami pencerahan. Aku memasuki tingkat empat, tingkat lima, tingkat enam, tingkat tujuh. Tubuhku mulai berkeringat sebesar bulir-bulir jagung. Aku memasuki tingkat delapan. Tubuhku mulai bergetar luar biasa. Rasanya seluruh nadi dan peredaran darahku teraliri oleh semacam aliran panas membara. Memasuki tingkat sembilan rasa panas itu menurun drastis, mulai berganti menjadi rasa hangat yang nyaman. Saat tembang yang dilantunkan mencapai bait ke sepuluh, akupun memasuki tingkat sepuluh. Aneh, tubuhku tidak berasa panas membara lagi. Badan yang tadi bergetar kini mulai kembali normal. Mulai timbul rasa hangat dibeberapa titik tubuhku, perlahan menyebar dan kemudian seperti melarut pada darahku. Seperti garam yang melarut pada air. Kemudian tembang itu terhenti. Persis setelah aku membuka mata dan kembali ke kesadaranku sebelumnya.
Jika aku saja pernah mendapatkan mimpi seperti itu, aku yakin ayahku juga mestilah mendapatkan mimpi yang sama. Lamunanku buyar mendengar teriakan Bawono.