Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 12

21 Juli 2016   14:32 Diperbarui: 21 Juli 2016   14:37 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah menggeser posisi kakinya sedikit ke belakang, lalu kedua tangannya membentuk sikap pasang dengan telapak tangan terbuka.

"Terimalah...!", teriak Bawono dengan keras.

Bawono melompat kedepan dengan cepat sambil memukulkan telapak tangan kanannya. Kesiuran angin panasnya dapat kurasakan dari tempatku duduk. Aku melihat ayah melompat dengan ringan ke kiri. Merasa serangannya gagal, Bawono langsung melepaskan kembali pukulan telapak tangan kirinya ke arah ayah. Lagi-lagi kesiuran angin panasnya terasa sampai ketempatku. Ayah melompat kembali dengan ringan dua tiga langkah hingga berada tepat didepan sebatang kayu seukuran anak kecil disudut gubuk.

Kesal karena serangan kedua gagal, Bawono menjadi lebih garang. Kemudian ia melompat dengan cepat bagai kijang menyerang ayah sambil melepaskan beberapa pukulan yang mengandung hawa panas sangat tinggi. Kesiuran angin panasnya semakin menjadi dan sangat berbeda dari sebelumnya. Aku merinding, terasa sedikit perih di wajahku. Secara reflek aku menggeser posisi dudukku.

BRESSSHH!

Pohon dibelakang ayah terbakar dengan sangat hebat. Sebagian langsung gosong pada beberapa tempat yang terkena telapak dan pukulan dari pemuda paruh baya itu. Sementara ini, ayah hanya bisa melompat-lompat cepat untuk menghindari setiap hembusan angin pukulan yang berasa sangat panas. Bawono nampaknya telah melontarkan Sapto Dahono, salah satu jurus pamungkas yang sudah langka dari tanah Jawa.

"Kenapa kau hanya bisa melompat macam kucing tersiram air! Hahaha... Ayo! Hadapi aku, Bawono! Hadapi pukulan Sapto Dahono milikku! Hahaha..!", ucapnya dengan keras. Nampak ia kembali menyiapkan kuda-kuda dan jurus pembuka Sapto Dahono. Sementara pohon besar yang terbakar dan hampir tumbang itu menyisakan banyak bekas serangan Sapto Dahono miliknya.

Dari bekas serangannya, nampaknya Sapto Dahono miliknya berada satu atau dua tingkat diatas ayah. Setidaknya, demikianlah penilaianku.

Ayah terlihat mundur perlahan lalu memejamkam mata. Entah tiba-tiba ingatanku terbawa pada masa lima tahun silam. Saat itu, akupun mempelajari Sapto Dahono dari ayahku. Namun kemudian karena satu dan lain hal kuhentikan karena latihannya yang sangat keras dan aku merasa hampir menyerah. Padahal menurut ayah aku ini berbakat dan semestinya latihan itu bisa kukuasai. Namun kuputuskan untuk menghentikannya. Kurang lebih tiga bulanan kemudian setelah kuhentikan latihan Sapto Dahono itu, aku bermimpi dan didatangi seorang kakek berbaju putih dan berjenggot putih. Ia menanyakan kenapa aku berhenti melatih ilmu Sapto Dahono itu? Aku menjawab kalau latihannya sangat berat. Aku tidak sanggup.

"Jujurlah pada hatimu, nak...", ucap kakek tua berbaju putih dan berjenggot putih itu sambil tersenyum. Senyum yang sangat tenang dan damai. Senyum yang khas.

"Maksud kakek?", tanyaku penasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun