Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 12

21 Juli 2016   14:32 Diperbarui: 21 Juli 2016   14:37 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia terlontar dengan keras dan terbanting ke tanah hingga menimbulkan suara keras. Napasnya terlihat kacau. Darah terlihat keluar dari sudut mulutnya, hidungnya, dan telinganya. Pandangan matanya menatap langit kosong seakan tak percaya. Sementara posisi ayah tidak berubah sama sekali. Aku melihat ayah menarik kembali Sapto Dahono tingkat tujuh yang baru saja dilepaskannya. Kalau diteruskan dengan sepuluh bagian tenaga, Bawono mesti akan terlepas nyawanya.

Aku ingat pesan Ki Sapto Dahono agar mengampuni siapa saja mereka yang mewarisi ilmu ciptaannya. Kalau ia di jalan yang lurus, maka jadikanlah ia saudara. Kalau ia kesulitan dalam memahami ilmu tersebut, maka bantulah tingkatkan pengetahuannya sesuai dengan kadarnya. Kalau ia di jalan yang keliru, maka sadarkanlah. Inilah ajaran welas asih pada mereka yang merasa diwarisi keilmuan-keilmuan tingkat tinggi. Aku yakin ayah juga saat ini sedang merasakan itu dan melakukan hal yang sama, yakni memberikan pengampunan dengan welas asih.

Ayah berjalan perlahan menuju Bawono yang terbaring tak berdaya. Perlahan ayah duduk disampingnya. Nampaknya ia masih tidak percaya, mulutnya berusaha berkata-kata.

"Ti... tidak mungkin... Sapto Dahonoku adalah yang paling hebat di kolong langit... uhuk... uhuk...", lirihnya sambil sesekali terbatuk. Suaranya sangat jelas terdengar olehku.

Aku tersenyum pahit. Miris. Dulu, akupun pernah merasakan hal yang sama. Bahwa mempelajari ilmu kanuragan memang akan sangat meningkatkan rasa percaya diri hingga tahap yang tidak wajar. Terlalu percaya diri, hingga terkadang malah jadi meremehkan orang lain. Menganggap ilmuku lebih baik dari yang lain. Inilah cikal bakal dari kesombongan. Aku pernah melupakan ajaran keilmuannya, karena bagiku itu dulu tidak menarik. Yang menarik adalah kesaktian dan kehebatan. Dilihat orang nampak hebat, dipandang orang nampak sakti. Perlahan kesombongan menggerogoti. Bahkan terhadap guruku yang sekaligus ayahku sendiri. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bawono.

"Atur napasmu... Aku akan mengobatimu...", ucap ayah perlahan.

Ayah lalu mendekatkan kedua telapak tangannya didepan dada tidak bersentuhan. Perlahan nampak sedang dikerahkan kaidah pengobatan dan penyembuhan dari pewaris keilmuan Pangeran Samudro. Aku ingat, dulu aku dan ayah pernah mengembara hingga pegunungan Kemukus untuk mencari dan menjumpai pewaris keilmuan Pangeran Samudro. Kulakukan perjalanan berminggu-minggu, berbulan-bulan, untuk menuju kesana. Sebuah pegunungan yang dikenal sebagai Gunung Kemukus. Perjalanan yang dulu hampir membuat kami hampir menyerah karena disana sudah berubah tidak seperti yang kuperkirakan. Sudah banyak penyimpangan-penyimpangan. Beruntung niat kami tidak berubah. Niat ayah saat itu hanya satu, bahwa ayah harus menemui pewaris keilmuan Pangeran Samudro. Ayah lalu mendapatkan beberapa keilmuan untuk mengobati efek-efek yang ditimbulkan dari keilmuan jalur Handoko. Setelah kuteliti, rupanya keilmuan dari jalur Pangeran Samudro merupakan latihan pembalik dari keilmuan dari jalur Handoko. Kedua tangan ayah kemudian ditempelkan didada Bawono. Ia kemudian terdiam. Perlahan, kulihat air matanya meleleh. Ia menjadi semakin tenang.

"Ilmu apa yang kau kerahkan?", tanya Bawono. Suaranya sudah mulai normal.

Ayah tidak menjawabnya.

"Ini sangat penuh dengan ajaran welas asih... Getaran tenaganya sama... Namun rasanya sangat berbeda...", lanjutnya.

"Diamlah dulu... biarkan tubuhmu membaik dengan sempurna...", ucap ayah datar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun