Martha semakin terpojok. Jelas ini bukan sandiwara yang diharapkan. Tidak tertulis dalam naskah. Ini sebuah realita. Dan Martha sepertinya kehabisan akal untuk berakting di depan anak-anak.
“Mama sungguh bingung, apa yang mesti Mama lakukan agar kalian ikut merasakan kebahagiaan ini.”
“Ini ‘kan acara Mama, …”
“Dan Mama-lah yang layak mendapatkan kebahagiaan itu …”
“Ma! … kasihan tamu itu terlalu lama menunggu,” cetus Reni, si Bungsu sekonyong-konyong.
Martha terperanjat namun hanya sebentar. Sesaat kemudian ia menciumi satu per satu kening anak-anak, lantas merapikan riasannya, sebelum akhirnya pergi bersama laki-laki itu meninggalkan rumah bercat kuning gading.
Walaupun hatinya bahagia menikmati makan malam di sebuah restoran terbaik berduaan bersama orang yang dicintai, tetapi terasa belum sempurna kebahagiaan itu tanpa kehadiran anak-anak. Terlebih meninggalkan mereka dalam sikap yang sukar dipahami.
Bagaimana bisa memahami sikap ketiga putrinya yang dulu begitu apriori dan sinis tiap kali berhubungan dengan laki-laki, tiba-tiba berubah dratis. Tidak saja menerima dan menyambut seorang pria di rumahnya, tetapi juga merestui hubungannya dengan Sammy, laki-laki yang dikenalnya setahun lalu. Benarkan mereka merestui hubungan kami?
Martha masih ingat penuturan si Sulung setelah setahun ditinggal kepergian suaminya.
“Mama jangan menikah lagi yach, … kasihan Papa di surga.”
“Percayalah, … Mama telah bersumpah di depan nisan Papa. Kalian dengar sendiri ‘kan?”