“Sederhana kok, … datang ke rumah temui aku dan anak-anak. Katakan pada kami, bahwa kamu bermaksud mengajak makan bersama, terserah di mana tempatnya. Yang jelas, kedatangan kamu sebagai ungkapan terimakasih karena kasusnya telah selesai dengan sukses.”
“Kalau bukan karena cintaku yang menggunung, mungkin sejak awal aku sudah mengundurkan diri,” kata laki-laki itu berseloroh.
Martha tersenyum sumir melihat wajah laki-laki itu menegang. Terlihat gelisah. Bisa jadi dalam sejarah hidupnya ia belum pernah melakoni peran seperti ini.
Kali ini Martha bertekad untuk mengakhiri sandiwara yang diciptakannya, dan ia ingin berterus terang dihadapan anak-anak mengenai hubungannya dengan Sammy, dan merencanakan untuk hidup serumah dalam satu ikatan sakral.
Maka malam itu juga, Martha telah mempersiapkan diri menunggu kedatangan tamu spesial. Dikenakanlah gaun terbaiknya, meski sempat mengundang tanya di hati putri-putrinya.
“Mau ke pesta?” sindir putri sulungnya bernada curiga.
“Mama cantik sekali malam ini, pasti sedang menunggu seseorang,” kali ini si Bungsu memuji.
“Siapa dia, Ma?” selidik putri keduanya.
Martha tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, sebab dering bel pintu lebih dulu berbunyi. Segera ia menuju beranda rumah. Ketiga putrinya menguntil di belakang tapi langkahnya merandek tepat di sisi gorden, dan melalui jendela kaca mereka mengintipnya. Tamu itu tak lain adalah sosok laki-laki yang pernah bertamu ke rumah ini.
“Ayo, anak-anak … berdandanlah secantik mungkin. Tamu itu mengajak kita makan di restoran terbaik di kota ini,” anjur Martha kepada ketiga putrinya, setelah lebih dulu mempersilakan tamunya duduk di ruang depan.
Tak ada sambutan gembira mendengar tawaran itu, sebaliknya mereka bersikap acuh, duduk-duduk santai di ruang tengah.