“Kalian tidak mau ikut?” tanya Martha heran. Ia memandangi satu per satu putrinya, melirik si Sulung yang asyik memainkan ponselnya, lalu menatap ke arah putri keduanya, dan terakhir memperhatikan ulah si Bungsu serius bersama Ipad-nya.
“Hei, … ada apa dengan kalian? Ayolah, jangan permalukan Mama di depan tamu itu dong. Dia ‘kan bermaksud baik,” bujuk Martha.
“Iya, baik untuk Mama belum tentu baik untuk kami.” Si Sulung yang menjawab, mewakili suara-suara adiknya.
Martha menoleh, “Mama tidak mengerti, bisa diperjelas?”
“Ingat baik-baik ya, Ma … apa yang Mama lakukan di Cafe Amor pada Kamis kemarin tepat jam tiga sore, duduk di meja nomor dua bersama seorang laki-laki berkemeja lengan panjang abu-abu, bercelana hitam dan berdasi biru tua … Ingatkah itu, Mama? … Bagus kalau Mama ingat. Seharusnya Mama juga ingat dengan sumpah yang dulu pernah diucapkan di atas makam Papa. Masih ingatkah sumpah itu, Mama?” tutur Rosa melontarkan lusinan kata-kata dalam intonasi tenang, namun meluncur deras seperti tumpahan air hujan. Membuat Martha, ibunya, berdiri kaku tak ubahnya seorang Terdakwa duduk di kursi pesakitan.
“Itu, … itu hanya pertemuan biasa, Sayang…" suara Martha tercekat seolah tenggelam dalam kubangan air. Gugup. Bagaimana mungkin mereka bisa menguntil sejauh itu?
"Salahkah Mama, sebagai pengacara memenuhi undangan seorang klien, membicarakan seputar kasus yang sedang Mama urus. Dan sekarang, klien itu hendak berterima kasih dengan mengajak kalian makan bersama. Apakah itu salah?”
“Tidak ada yang salah, Ma … sekalipun Mama mencintai dia, tidak ada yang perlu dipersalahkan. Itu hak Mama mencintai dan dicintai.”
Martha tertegun. Telinganya hampir tak percaya mendengar enunsiasi keluar dari mulut putri sulungnya, yang bulan depan akan merayakan hari seventeen-nya.
“Tidak, Sayang … cinta ini hanya untuk Papa seorang. Tak ada yang bisa menggantikannya, …”
“Sudahlah, Mama … semua sudah terang bagi kami,” tukas putri keduanya.