Sammy, laki-laki parlente itu baru saja keluar meninggalkan rumah bercat kuning gading. Kepergiannya masih menyisakan kesan tersendiri bagi Martha. Sepuluh tahun rumah ini nyaris tidak pernah dikunjungi seorang laki-laki. Dan Sammy adalah laki-laki pertama, ia berharap bukan kunjungan terakhir yang bertamu ke rumahnya.
Meskipun laki-laki itu baru pertama kali bertandang ke ruman, namun Martha telah mengenalnya hampir setahun lalu. Memang tidak mudah untuk menghadirkan sosok laki-laki di rumah ini. Perlu pertimbangan-pertimbangan khusus.
Selain statusnya sebagai janda – yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah dan bahan pergunjingan tetangga-tetangga, adalah sikap ketiga putrinya yang jelas-jelas tak menghendaki ibunya, Martha, bermain-main dengan mahluk berjenis laki-laki. Apalagi sampai kemudian berlanjut ke jenjang yang lebih serius.
Maka Martha pun berusaha keras meyakinkan putri-putrinya, diciptakanlah sandiwara, bahwa hubungan dengan Sammy hanyalah sekadar urusan bisnis semata. Tak lebih dari itu.
Terpaksa Martha menempuh cara bersandiwara bersama laki-laki itu agar hubungannya tetap langgeng. Setidaknya, laki-laki itu tidak disambut sikap apriori dan prasangka buruk ketiga putrinya apabila bertamu ke rumah.
Pada awalnya Martha ragu juga meminta laki-laki itu bersandiwara. Sebab, Martha tidak bisa menjamin dengan pasti apakah ketiga putrinya telah siap menerima laki-laki itu di rumah ini? Menghadirkan seorang calon ayah baru setelah sepuluh tahun lamanya terbiasa hidup mandiri tanpa didampingi laki-laki.
“Ini cuma sementara saja, Sam … biar kamu kenal lebih dekat dengan anak-anak, mengakrabkan diri, dan mudah-mudahan mereka menerimanya.”
“Sampai kapan kita mainkan sandiwara ini, Martha? Masalahnya kita tidak mungkin terus menerus dalam kepura-puraan. Toh, mereka sudah dewasa. Biarkan saja anak-anak berfikir, menilai, dan mengambil keputusannya sendiri.”
“Kita lihat saja nanti …”
Marha tak mau ambil resiko. Ia mencoba dulu membawa laki-laki itu ke rumahnya, memperkenalkan pada anak-anak, lalu melihat reaksi yang akan muncul kemudian.
Cukup menegangkan ketika Rosa, putri sulungnya, menyambut laki-laki itu dengan tatapan selidik. Bagaikan melihat mahluk asing, diplototi, diperhatikan, dicermati begitu teliti dari ujung sepatu hingga rambut di atas kepala. Segalanya serba dicurigai.