"Tentu saat dia lengah, saya lebih memilih kabur daripada menyerangnya balik, karena jika saya lakukan serangan balik sudah pasti dia akan menghindar dan justru menyerang saya kembali, dan kemungkinan besar saya sudah tidak ngopi bareng kalian lagi disini."
Semua petarung diam sejenak, ada yang menyeruput kopi, dan ada yang tengah menghisap sekaligus mengepulkan asap rokoknya. Masih di warung milik pribumi itu, datang seorang yang berperawakan agak tua bermaksud membeli minum.
"Dia itu memang keparat!" selepas membeli minum, orang tua itu asal nyamber saja ikut pembicaraan.
"Keparat bagaimana kang?" tanya seorang petarung.
"Si Bangsat itu telah memerkosa anak saya! Dia harus segera diberi pelajaran!" orang tua itu geram dan memaki-maki.
"Hah? Memerkosa?" pemilik warung yang tadinya diam kini mulai ikut bicara.
"Iya, kemarin Mat Belor datang ke rumah saya. Dia langsung masuk ke dalam tanpa permisi dan membawa pergi anak saya. Esoknya anak saya pulang dan dia mengaku sudah diperkosa oleh Mat Belor."
"Beberapa hari yang lalu, juga ada anak seorang perempuan datang ke warung saya, dia minta perlindungan saya dari Mat Belor. Perempuan itu juga mengaku kalau dia baru saja diperkosa oleh Mat Belor." Si pemilik warung itu ikut pembicaraan.
"Kurang ajar Mat Belor itu, dia harus segera di bunuh, atau paling tidak diusir dari Madukara." Wage menimpali.
"Benar," jawab orang tua itu.
"Ngomong-ngomong tuan ini siapa?" tanya Jembul kepada orang tua itu.