Aku mendatangi kamar Bia ketika merindukannya, sama seperti yang dilakukan oleh ibu untuk mengobati rasa itu. Kuedarkan pandangan ke seluruh kamarnya, terlihat banyak fotonya terpajang di dinding. Ada sebuah coretan di dinding bercat putih tersebut yang kala itu ia tulis.
"Aku sayang Kak Oza
Aku belajar dan sekolah bareng Kak Oza."
 Aku terenyuh setelah membacanya yang membuat diri ini merasa bersalah atas apa yang sudah kuperbuat padanya. Perbuatan tidak menyenangkan yang menjadikannya seperti itu, yang membencinya karena telah merebut ibu dariku. Padahal, ia tidak merebut ibu. Ibu lebih menyayanginya karena ia anak baik, tidak sepertiku yang jauh dari kata itu.
"Maafkan aku, Bia." Aku berkata dengan penuh penyesalan. Kemudian, melangkahkan kaki secepat mungkin menuju kamar ibu yang tengah menangisi dirinya terus menerus untuk mengajaknya mengunjungi Bia. Aku ingin meminta maaf pada gadis itu atas apa yang sudah kuperbuat. Ia begitu karena aku terlalu menekan hidupnya.
Aku langsung berlari menuju sebuah ruangan di mana ia tempati ketika sampai di rumah sakit untuk orang-orang yang kejiwaannya terganggu sepertinya. Aku kembali terenyuh. Tanpa sadar kali ini sampai meneteskan air mata melihat Bia mengamuk dan meronta-ronta sambil terus berteriak saat ditangani oleh para petugas rumah sakit ini.
"Bia tenang, Bi, tenang!" Aku memegang kedua tangannya, namun tetap saja. Ia malah berteriak semakin kencang.
"Aaaaaaaaaa..."
"Bia dengarkan aku!" Aku memegang wajahnya dengan kedua tanganku. Ia terdiam menatapku. Tak lama kemudian ia menangis dan berkata...
"Kak Oza jahat! Kak Oza jahat! Kak Oza jahat!"
"Iya Bia, maafkan aku. Maafkan aku sudah jahat denganmu." Aku berkata sambil memeluknya.