Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Langit Merah di Atas Cinta

29 Oktober 2024   07:58 Diperbarui: 29 Oktober 2024   08:17 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa kecil bernama Sinar, di mana sawah terbentang hijau dan bukit-bukit menjulang dengan anggun, tinggal seorang gadis bernama Melati. Usianya baru menginjak dua puluh tahun, namun hidupnya tidak pernah seindah namanya. 

Melati adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh neneknya, Ibu Tati, di rumah tua mereka yang terletak di pinggir desa. Setiap hari, Melati membantu neneknya menjual sayuran di pasar dan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Meskipun kehidupannya sederhana, Melati memiliki mimpi besar. Ia ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, harapan itu tampak samar karena biaya yang sangat tinggi. Melati sering menatap langit yang biru di atas kepalanya, membayangkan hari-hari ketika ia bisa mengenakan toga, berdiri di atas panggung, dan menerima ijazahnya.

Suatu sore, saat pulang dari pasar, Melati melihat seorang pemuda duduk di bawah pohon mangga besar. Pemuda itu tampak asing, dengan mata cerah dan senyum yang menawan. Melati merasa jantungnya berdegup kencang saat matanya bertemu dengan mata pemuda itu. Ia bergegas pulang, tidak ingin neneknya khawatir.

"Siapa dia, ya?" gumam Melati dalam hati. Sejak hari itu, Melati tidak bisa menghilangkan bayangan pemuda itu dari pikirannya. Ia bertekad untuk mengetahui lebih lanjut tentangnya.

Hari demi hari berlalu, dan Melati terus melihat pemuda itu di bawah pohon mangga, hingga suatu hari ia memberanikan diri untuk menghampirinya. Ternyata, pemuda itu bernama Rian. Ia adalah pendatang baru di desa Sinar, datang untuk membantu pamannya yang memiliki usaha pertanian. Melati merasa senang bisa berkenalan dengan Rian, dan mereka mulai menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing.

Rian adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Ia menceritakan tentang mimpinya menjadi seorang arsitek, dan Melati merasa terinspirasi oleh ambisinya. Mereka sering kali berbincang di bawah pohon mangga, dengan latar belakang matahari terbenam yang memancarkan cahaya oranye dan merah. Melati merasa hidupnya menjadi lebih berarti sejak kehadiran Rian.

Namun, kebahagiaan Melati tidak berlangsung lama. Suatu hari, saat mereka sedang duduk berdua di bawah pohon mangga, Rian mengungkapkan sebuah kabar yang membuat hati Melati hancur.

"Aku harus kembali ke kota," ucap Rian dengan nada berat. "Usaha pamanku sudah selesai, dan aku harus melanjutkan kuliahku."

Melati merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh. "Kapan?" tanyanya, suaranya bergetar.

"Besok," jawab Rian.

"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," Melati mengalihkan pandangnya ke tanah, berusaha menahan air mata.

"Melati, aku ingin kamu tahu bahwa kamu sangat berarti bagiku. Aku akan selalu mengingatmu."

Melati hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya. Saat Rian pergi ke kota, seakan segenap harapannya lenyap bersamanya.

Hari-hari berlalu tanpa kehadiran Rian, dan Melati kembali ke rutinitasnya. Namun, hidupnya terasa kosong. Ia merasa kehilangan teman dan seseorang yang bisa memahami impian dan harapannya. Setiap kali melihat langit merah saat matahari terbenam, Melati merasa sakit.

Suatu malam, saat ia sedang duduk di beranda rumahnya, nenek Tati datang dan duduk di sampingnya. "Melati, ada apa? Kenapa kamu terlihat murung?"

"Tidak ada, Nek," jawab Melati sambil tersenyum, meskipun senyumnya terasa palsu.

"Kadang kita harus berani mengungkapkan perasaan kita, Nak. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyimpan rasa sakit di dalam hati."

Melati terdiam. Ia tahu neneknya benar, tetapi bagaimana ia bisa mengungkapkan perasaannya kepada Rian?

Seminggu setelah kepergian Rian, Melati terbangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk mendaftar ke perguruan tinggi, menggunakan tabungan yang ia kumpulkan selama ini. Nenek Tati mendukung keputusan Melati, meskipun mereka harus berjuang keras untuk membayar biaya pendidikan.

Hari pendaftaran pun tiba, dan Melati berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengisi formulir pendaftaran. Ia menyadari bahwa untuk mengejar mimpinya, ia harus berusaha lebih keras. Melati mengingat Rian, yang selalu mendorongnya untuk tidak menyerah.

Setelah menyelesaikan pendaftaran, Melati mulai pergi ke perpustakaan desa setiap sore, membaca berbagai buku dan mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Ia merasa semangatnya kembali berkobar, seolah Rian selalu ada di sisinya, memberi dukungan tanpa henti.

Hingga suatu sore, saat Melati sedang belajar di perpustakaan, ia mendengar suara yang sangat dikenalinya. Rian! Melati menoleh dan melihat Rian berdiri di ambang pintu, dengan senyum lebar di wajahnya. "Melati! Aku kembali!"

Air mata bahagia mengalir di pipi Melati. Ia berlari menghampiri Rian dan memeluknya erat. "Aku sangat merindukanmu!"

"Begitu juga aku," jawab Rian sambil tersenyum. "Aku kembali ke desa ini untuk menetap dan membantu pamanku. Dan aku datang untuk mencari kamu."

Melati tidak percaya. "Benarkah?"

Rian mengangguk. "Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Melati. Aku ingin melihatmu berhasil."

Mendengar kata-kata itu, hati Melati berbunga-bunga. "Aku sudah mendaftar di perguruan tinggi, Rian. Aku ingin mengejar mimpiku."

"Bagus! Aku yakin kamu bisa melakukannya," Rian berkata, penuh semangat. "Aku akan ada di sini untuk mendukungmu."

Sejak saat itu, Melati dan Rian semakin sering menghabiskan waktu bersama. Mereka belajar bersama, berbagi cerita, dan Rian membantu Melati mempersiapkan ujian masuk. Kebersamaan mereka membuat Melati merasa bersemangat dan percaya diri.

Namun, saat Melati hampir lulus dari ujian, sesuatu terjadi. Rian mendapat tawaran untuk kuliah di luar negeri, kesempatan yang sangat sulit didapat. Ia berjuang untuk membuat keputusan yang tepat, dan Melati merasa hatinya terombang-ambing antara bahagia untuk Rian dan sedih karena harus kehilangan orang yang ia cintai.

"Melati, aku sangat ingin pergi, tetapi aku tidak ingin meninggalkanmu," ucap Rian pada suatu malam, saat mereka duduk di bawah bintang-bintang. "Apa yang harus aku lakukan?"

Melati menatap Rian, mencari kata-kata yang tepat. "Kamu harus pergi, Rian. Ini kesempatan besar untukmu. Jangan biarkan rasa takut menghentikanmu."

"Tapi aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu," Rian menjawab dengan nada penuh ketegangan.

"Kalau kita saling mencintai, kita harus saling mendukung, bukan?" Melati tersenyum, meskipun air mata mengalir di pipinya. "Kita akan bertemu lagi. Cintaku tidak akan pernah pudar."

Akhirnya, Rian memutuskan untuk pergi. Melati merasa hancur, tetapi ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik bagi Rian. Di hari keberangkatan Rian, Melati memberikan sebuah buku catatan kecil. "Tulislah semuanya di sini, ya? Ceritakan tentang pengalamanmu, dan aku akan membacanya setiap hari."

Rian tersenyum dan memeluk Melati erat. "Aku akan kembali, Melati. Dan saat aku kembali, aku ingin melihatmu sebagai seorang sarjana."

Setelah kepergian Rian, Melati merasa kesepian. Namun, ia bertekad untuk terus belajar dan mencapai impiannya. Ia belajar dengan giat, dan setelah berbulan-bulan berjuang, akhirnya ia berhasil lulus ujian masuk perguruan tinggi.

Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Melati mengenakan toga, dan saat ia berdiri di atas panggung, ia tidak bisa tidak berpikir tentang Rian. Ia membayangkan senyum di wajah Rian saat melihatnya menerima ijazah.

Melati pun mulai menulis surat untuk Rian setiap minggu, menceritakan tentang kehidupannya, harapannya, dan perkembangan belajarnya. Rian juga membalas surat-suratnya, menceritakan tentang pengalaman barunya di luar negeri dan bagaimana ia terus berusaha untuk mencapai impiannya sebagai arsitek.

Waktu berlalu, dan Melati terus menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Ia mendapatkan banyak teman baru dan belajar banyak hal. Namun, Rian selalu menjadi tempat istimewa di hatinya. Ia tidak pernah melupakan janjinya untuk kembali dan mendukung Melati.

Setelah beberapa tahun, Rian akhirnya pulang ke Sinar. Ia berhasil menyelesaikan studinya dengan baik dan telah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan arsitektur terkemuka. Hari kedatangan Rian pun ditunggu-tunggu oleh Melati. Ia mengenakan gaun terbaiknya dan merias wajahnya, ingin terlihat cantik di depan Rian.

Saat Rian keluar dari mobil, Melati merasa jantungnya berdebar kencang. Rian terlihat lebih dewasa, dengan penampilan yang lebih rapi. Ia langsung menghampiri Melati dan memeluknya erat. "Kamu terlihat menakjubkan, Melati!"

Melati tersenyum lebar. "Terima kasih, Rian. Aku sangat merindukanmu."

"Mari kita rayakan kesuksesan kita!" seru Rian, dan mereka berjalan berdua ke sebuah restoran kecil di desa untuk merayakan hari itu.

Selama makan malam, mereka bercerita tentang perjalanan masing-masing. Rian menceritakan semua yang ia lakukan di luar negeri, sementara Melati membagikan pencapaian akademisnya. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan merasa seolah tidak ada yang berubah.

Namun, saat pembicaraan berlanjut, Melati merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati Rian. Ia tampak ragu-ragu dan lebih sering memeriksa ponselnya.

"Rian, ada apa?" tanya Melati, khawatir.

Rian menarik napas dalam-dalam. "Melati, aku... aku ingin mengatakan sesuatu."

Melati menahan napas, merasakan ketegangan di udara. "Apa itu?"

"Aku mendapat tawaran untuk bekerja di luar negeri lagi. Ini kesempatan yang bagus, dan aku sangat ingin menerimanya," ucap Rian.

Hati Melati terasa hancur. "Jadi, kamu akan pergi lagi?"

"Tidak sekarang. Tapi aku harus memikirkannya. Ini adalah kesempatan langka untukku," Rian menjelaskan, wajahnya terlihat bingung.

Melati berusaha mengerti. "Rian, aku tidak ingin menghalangimu. Ini adalah mimpimu, dan kamu harus mengejarnya."

"Aku tidak ingin meninggalkanmu," jawab Rian, suaranya bergetar.

"Tapi kita sudah membahas ini sebelumnya, kan? Kita harus saling mendukung. Ini adalah perjalanan hidupmu," Melati berkata, berusaha tetap tegar.

Malam itu berakhir dengan ketidakpastian. Melati kembali ke rumahnya, merasa hati ini remuk redam. Ia ingin Rian bahagia, tetapi ia juga merasa takut kehilangan sosok yang begitu berarti dalam hidupnya. Ia duduk di beranda, melihat langit malam yang dipenuhi bintang, mengingat semua kenangan indah bersama Rian.

Keesokan harinya, Melati menerima pesan dari Rian. "Aku sudah memutuskan. Aku akan mengambil tawaran itu. Tapi aku berjanji, aku akan kembali untukmu. Kita akan bersama lagi."

Melati tersenyum sambil menahan air mata. Ia tahu keputusan Rian adalah yang terbaik, tetapi perpisahan itu tetap menyakitkan. "Aku akan menunggumu, Rian. Mimpi kita belum selesai," balas Melati.

Setelah kepergian Rian, Melati merasa ada bagian yang hilang dari hidupnya. Ia kembali fokus pada studinya dan mencoba untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Rian. Hari-hari berlalu, dan meskipun Melati berusaha tersenyum, hatinya tetap merindukan Rian.

Bertahun-tahun kemudian, saat Melati sudah menyelesaikan pendidikan dan mulai bekerja di sebuah lembaga pemerintah, ia menerima kabar bahwa Rian akan kembali ke Sinar untuk merayakan kesuksesannya. Hatinya berbunga-bunga.

"Rian akan kembali!" serunya, mengingat semua kenangan indah mereka. Ia memutuskan untuk merayakan kedatangan Rian dengan mengadakan pesta kecil di rumahnya. Melati mengundang teman-teman dekatnya dan mempersiapkan segalanya dengan penuh semangat.

Hari pesta tiba, dan Melati merasa berdebar-debar. Ia ingin menunjukkan kepada Rian bahwa ia telah tumbuh menjadi seseorang yang mandiri dan sukses. Saat Rian tiba, senyumnya menerangi seluruh ruangan.

"Melati!" teriak Rian, memeluknya dengan erat. "Kamu terlihat luar biasa!"

"Terima kasih, Rian. Aku senang kamu kembali!"

Pesta berlangsung meriah, dengan tawa dan cerita yang mengalir. Rian menceritakan perjalanan hidupnya di luar negeri, sementara Melati membagikan pengalamannya di dunia kerja. Namun, di tengah kesenangan itu, Melati merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Rian. Ia merasa Rian semakin matang dan bijaksana, tetapi juga sedikit menjauh.

Setelah pesta, saat semua tamu pulang, Melati dan Rian duduk berdua di beranda rumah. Mereka berbicara tentang rencana masa depan, tetapi Melati merasakan ketegangan di antara mereka.

"Rian, apa rencanamu ke depan?" tanya Melati, penasaran.

"Aku ingin kembali ke luar negeri. Ada proyek besar yang menantiku," jawab Rian, tatapannya kosong.

"Jadi, kamu akan pergi lagi?" Melati menelan ludah, hatinya serasa ditusuk.

"Ya, aku... aku harus mengambil kesempatan ini," Rian berkata, tampak ragu.

"Aku mengerti. Kamu harus mengejar mimpimu," Melati berusaha tersenyum, meskipun air mata mulai menggenang di matanya.

"Melati, aku ingin kamu tahu, kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku. Tapi aku juga harus fokus pada karirku," Rian menjelaskan, berusaha meyakinkan Melati.

"Aku tidak akan pernah menghalangimu, Rian. Tetapi, kita sudah berjanji untuk saling mendukung," balas Melati, suaranya mulai bergetar.

Mereka terdiam sejenak, saling menatap. Melati merasa bahwa waktu yang mereka miliki semakin sedikit.

"Rian, aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Dan aku akan selalu mencintaimu, tidak peduli di mana kamu berada," Melati berkata, tulus.

Rian tersenyum, tetapi matanya terlihat sedih. "Aku juga mencintaimu, Melati. Itu tidak akan pernah berubah."

Keesokan harinya, Rian pergi lagi, meninggalkan Melati dengan harapan dan kerinduan yang mendalam. Melati berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan hidupnya, tetapi rasa rindu terus menghantuinya. Ia sering menulis surat untuk Rian, meskipun tidak pernah mengirimkannya. Surat-surat itu menjadi tempatnya untuk menuangkan segala perasaan yang terpendam.

Waktu berlalu, dan Melati berhasil mencapai beberapa pencapaian dalam karirnya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa kosong tanpa kehadiran Rian. Suatu malam, saat melihat langit berbintang, Melati menulis surat terakhir untuk Rian.

"Rian, aku berharap kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada. Mungkin kita ditakdirkan untuk saling bertemu dan berpisah, tetapi cintaku padamu akan selalu ada. Jika suatu saat kita bertemu lagi, aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah berusaha menjadi yang terbaik untuk diriku sendiri. Semoga kau juga demikian."

Melati menyimpan surat itu di dalam kotak kecil di kamarnya, menjadi pengingat bahwa cinta sejati tidak akan pernah pudar meskipun terpisah oleh waktu dan jarak.

Beberapa tahun kemudian, saat Melati sedang berada di kantor, ia menerima kabar bahwa Rian telah kembali ke Sinar. Hatinya berdebar-debar. Apakah ini kesempatan yang ia tunggu?

Ketika Melati bertemu Rian di sebuah acara pernikahan teman mereka, perasaannya campur aduk. Rian terlihat lebih matang dan sukses, tetapi tatapan matanya penuh keraguan.

"Melati!" seru Rian, memeluknya dengan hangat. "Aku merindukanmu."

"Aku juga, Rian. Senang melihatmu lagi," jawab Melati, berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

Mereka berbincang, mengingat masa lalu, tetapi Melati merasakan ada sesuatu yang berbeda. Rian tampak terjebak dalam rutinitasnya, seolah menghindari untuk membahas perasaan mereka.

"Rian, apa kamu sudah mendapatkan tawaran kerja di luar negeri?" tanya Melati, berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan rindu.

"Ya, aku dapat tawaran yang bagus, tetapi aku sedang mempertimbangkan untuk menetap di sini," jawab Rian, tetapi nada suaranya tidak meyakinkan.

Melati merasa harapan dan keraguan bersatu dalam hatinya. Mereka berdua tahu bahwa cinta mereka tidak pernah padam, tetapi tantangan kehidupan memisahkan mereka.

Hari-hari berlalu, dan Melati merasa bingung dengan perasaannya. Ia ingin Rian berada di sampingnya, tetapi ia juga ingin Rian mengejar mimpinya. Suatu malam, saat mereka berjalan di pinggir sawah, Melati berani mengungkapkan perasaannya.

"Rian, apa kamu mencintaiku?"

Rian terdiam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. "Aku mencintaimu, Melati. Itu tidak pernah berubah."

"Lalu, kenapa kita terus terjebak dalam situasi ini?" Melati bertanya, suaranya bergetar.

"Aku tidak tahu. Kita selalu saling mencintai, tetapi kita juga memiliki mimpi masing-masing. Mungkin kita ditakdirkan untuk berjuang sendiri," Rian menjawab, wajahnya terlihat lelah.

Melati merasa hancur. Ia tahu cinta mereka sangat kuat, tetapi tantangan hidup sering kali membuat mereka terpisah.

"Aku akan selalu mencintaimu, Rian. Mungkin kita tidak bisa bersama sekarang, tetapi aku akan menunggumu," ucap Melati, air mata menetes di pipinya.

Rian mengangguk, dan mereka saling berpelukan. Momen itu terasa manis dan pahit sekaligus, sebuah pengingat bahwa cinta sejati tidak selalu berujung bahagia.

Beberapa bulan kemudian, Rian memutuskan untuk mengambil tawaran kerja di luar negeri. Melati merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa keputusan itu adalah yang terbaik untuk Rian. Di hari keberangkatan, Melati memberikan Rian surat yang ia tulis bertahun-tahun lalu. "Bacalah ini saat kamu merasa kesepian," ucapnya sambil menahan air mata.

Rian tersenyum, dan memeluk Melati erat. "Aku akan kembali, Melati. Kita akan bersama lagi. Aku berjanji."

"Semoga," jawab Melati, merasakan harapan dan kerinduan menyelimuti hatinya.

Setelah kepergian Rian, Melati kembali fokus pada pekerjaannya dan hidupnya. Ia tahu bahwa cintanya pada Rian tidak akan pernah pudar. Setiap malam, ia menatap langit berbintang dan membayangkan Rian di sana, di tempat yang jauh, tetapi selalu berada di dalam hatinya.

Hari-hari berlalu, dan Melati semakin sukses di pekerjaannya. Ia mendapatkan penghargaan dan diakui sebagai salah satu pegawai terbaik di lembaganya. Meskipun demikian, Rian selalu menjadi kenangan terindah yang takkan pernah terlupakan.

Setelah beberapa tahun, Melati menerima kabar bahwa Rian akan pulang untuk merayakan kesuksesannya. Hatinya berbunga-bunga. Ia ingin memberikan kejutan untuk Rian, menunjukkan betapa ia telah tumbuh dan menjadi wanita yang mandiri.

Saat Rian tiba di Sinar, Melati menyiapkan sebuah pesta kecil untuknya. Ia ingin membuat Rian bangga. Di hari pesta, semua teman-teman mereka berkumpul untuk merayakan kedatangan Rian. Melati mengenakan gaun cantik dan merias wajahnya dengan indah.

"Melati, kamu luar biasa!" seru Rian saat melihatnya.

"Terima kasih, Rian. Aku senang kamu kembali," jawab Melati dengan senyuman tulus.

Pesta berlangsung meriah. Rian menceritakan perjalanan hidupnya di luar negeri, dan Melati membagikan pencapaian di pekerjaannya. Mereka tertawa dan berbagi cerita, seolah tidak ada yang berubah. Namun, saat pesta semakin meriah, Melati merasakan keraguan dalam diri Rian.

Setelah semua tamu pulang, Rian dan Melati duduk berdua di beranda. Rian terlihat berpikir keras. "Melati, ada yang ingin aku bicarakan."

"Apa itu?" tanya Melati, merasa deg-degan.

"Aku mendapatkan tawaran kerja yang lebih baik lagi di luar negeri," ucap Rian, menatap Melati.

Hati Melati terasa hancur, tetapi ia berusaha tegar. "Jika itu yang terbaik untukmu, Rian, ambillah kesempatan itu."

"Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu lagi," jawab Rian, suaranya bergetar.

"Jangan biarkan rasa takut menghalangi impianmu, Rian. Kita sudah membahas ini sebelumnya. Cinta kita kuat, meskipun terpisah oleh jarak," Melati berkata, berusaha meyakinkan Rian.

Mereka terdiam, saling menatap, seolah mengingat semua kenangan indah. "Melati, aku mencintaimu. Itu tidak akan pernah berubah," Rian mengulangi kata-kata yang sama.

"Aku juga mencintaimu, Rian. Tetapi kita juga harus saling mendukung dalam mengejar mimpi masing-masing," balas Melati, air mata menetes di pipinya.

"Apakah kamu akan menungguku?" Rian bertanya, harap dan ragu terlihat dalam tatapannya.

"Tentu saja," jawab Melati, hatinya bergetar.

Hari keberangkatan Rian tiba, dan Melati merasa hancur. Ia memberikan Rian sebuah kotak kecil berisi surat-suratnya selama bertahun-tahun, sebagai pengingat bahwa cintanya tidak akan pernah pudar. "Bacalah ini jika kamu merasa kesepian," ucap Melati, merasakan air mata menggenang di matanya.

Rian memeluknya erat. "Aku akan kembali, Melati. Kita akan bersama lagi."

Setelah kepergian Rian, Melati kembali berfokus pada kehidupannya. Ia mendapatkan banyak penghargaan di tempat kerjanya dan membangun reputasi yang baik. Namun, di dalam hatinya, ia selalu merindukan Rian.

Bertahun-tahun kemudian, Melati menerima kabar bahwa Rian akan kembali ke Sinar. Hatinya berdebar-debar, harapan dan kerinduan menyelimuti jiwanya. Saat Rian tiba, Melati merasa seolah semua kenangan indah kembali hidup.

"Melati, aku kembali!" teriak Rian, memeluknya dengan erat.

"Aku sangat merindukanmu!" balas Melati, air mata bahagia mengalir di pipinya.

Setelah semua tahun terpisah, Melati dan Rian merasa seperti tidak ada yang berubah. Mereka berbincang, berbagi cerita, dan merayakan cinta yang tidak pernah pudar.

Rian membahas rencana masa depannya, dan Melati merasakan kebahagiaan mengalir dalam dirinya. "Aku ingin melanjutkan proyek di desa ini. Aku ingin membangun rumah untuk anak-anak yatim piatu," ucap Rian.

Melati merasa bangga. "Itu adalah ide yang luar biasa, Rian. Aku akan mendukungmu."

Malam itu, di bawah langit berbintang, Rian mengambil tangan Melati dan berkata, "Melati, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Mau tidak kamu jadi istriku?"

Melati terkejut, tetapi hatinya berbunga-bunga. "Ya, aku mau!"

Mereka berpelukan erat, mengingat semua perjalanan hidup mereka. Cinta mereka telah melewati banyak rintangan, tetapi sekarang, di bawah langit merah saat matahari terbenam, mereka tahu bahwa mereka tidak akan terpisah lagi.

Langit merah di atas cinta mereka menjadi saksi betapa kuatnya ikatan yang telah terjalin. Mereka siap menghadapi masa depan bersama, membangun mimpi dan cinta yang abadi.

Sumbawa, 29 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun