Melati merasa harapan dan keraguan bersatu dalam hatinya. Mereka berdua tahu bahwa cinta mereka tidak pernah padam, tetapi tantangan kehidupan memisahkan mereka.
Hari-hari berlalu, dan Melati merasa bingung dengan perasaannya. Ia ingin Rian berada di sampingnya, tetapi ia juga ingin Rian mengejar mimpinya. Suatu malam, saat mereka berjalan di pinggir sawah, Melati berani mengungkapkan perasaannya.
"Rian, apa kamu mencintaiku?"
Rian terdiam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. "Aku mencintaimu, Melati. Itu tidak pernah berubah."
"Lalu, kenapa kita terus terjebak dalam situasi ini?" Melati bertanya, suaranya bergetar.
"Aku tidak tahu. Kita selalu saling mencintai, tetapi kita juga memiliki mimpi masing-masing. Mungkin kita ditakdirkan untuk berjuang sendiri," Rian menjawab, wajahnya terlihat lelah.
Melati merasa hancur. Ia tahu cinta mereka sangat kuat, tetapi tantangan hidup sering kali membuat mereka terpisah.
"Aku akan selalu mencintaimu, Rian. Mungkin kita tidak bisa bersama sekarang, tetapi aku akan menunggumu," ucap Melati, air mata menetes di pipinya.
Rian mengangguk, dan mereka saling berpelukan. Momen itu terasa manis dan pahit sekaligus, sebuah pengingat bahwa cinta sejati tidak selalu berujung bahagia.
Beberapa bulan kemudian, Rian memutuskan untuk mengambil tawaran kerja di luar negeri. Melati merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa keputusan itu adalah yang terbaik untuk Rian. Di hari keberangkatan, Melati memberikan Rian surat yang ia tulis bertahun-tahun lalu. "Bacalah ini saat kamu merasa kesepian," ucapnya sambil menahan air mata.
Rian tersenyum, dan memeluk Melati erat. "Aku akan kembali, Melati. Kita akan bersama lagi. Aku berjanji."