"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," Melati mengalihkan pandangnya ke tanah, berusaha menahan air mata.
"Melati, aku ingin kamu tahu bahwa kamu sangat berarti bagiku. Aku akan selalu mengingatmu."
Melati hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya. Saat Rian pergi ke kota, seakan segenap harapannya lenyap bersamanya.
Hari-hari berlalu tanpa kehadiran Rian, dan Melati kembali ke rutinitasnya. Namun, hidupnya terasa kosong. Ia merasa kehilangan teman dan seseorang yang bisa memahami impian dan harapannya. Setiap kali melihat langit merah saat matahari terbenam, Melati merasa sakit.
Suatu malam, saat ia sedang duduk di beranda rumahnya, nenek Tati datang dan duduk di sampingnya. "Melati, ada apa? Kenapa kamu terlihat murung?"
"Tidak ada, Nek," jawab Melati sambil tersenyum, meskipun senyumnya terasa palsu.
"Kadang kita harus berani mengungkapkan perasaan kita, Nak. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyimpan rasa sakit di dalam hati."
Melati terdiam. Ia tahu neneknya benar, tetapi bagaimana ia bisa mengungkapkan perasaannya kepada Rian?
Seminggu setelah kepergian Rian, Melati terbangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk mendaftar ke perguruan tinggi, menggunakan tabungan yang ia kumpulkan selama ini. Nenek Tati mendukung keputusan Melati, meskipun mereka harus berjuang keras untuk membayar biaya pendidikan.
Hari pendaftaran pun tiba, dan Melati berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengisi formulir pendaftaran. Ia menyadari bahwa untuk mengejar mimpinya, ia harus berusaha lebih keras. Melati mengingat Rian, yang selalu mendorongnya untuk tidak menyerah.
Setelah menyelesaikan pendaftaran, Melati mulai pergi ke perpustakaan desa setiap sore, membaca berbagai buku dan mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Ia merasa semangatnya kembali berkobar, seolah Rian selalu ada di sisinya, memberi dukungan tanpa henti.