Kiran mendesah, merasa putus asa. "Aku tidak ingin memaksamu, Tara. Tapi aku juga tidak bisa melihatmu tersiksa seperti ini. Kamu berhak bahagia."
"Aku hanya butuh waktu," jawab Tara, suaranya lemah.
Beberapa minggu kemudian, Tara pergi ke kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Hujan turun dengan lebat, dan saat duduk di sudut kafe, ia mulai merenungkan semua yang terjadi. Ia merasa seolah hidup dalam dua dunia---dunia di mana Aditya adalah cinta sejatinya dan dunia di mana Kiran memberinya harapan baru.
Sambil menyesap kopi, Tara merasa ada suara kecil di dalam hatinya yang berkata untuk bergerak maju. Namun, perasaan bersalah selalu menghantuinya, menahan langkahnya. Saat itu, ia melihat Kiran masuk ke kafe. Wajahnya tampak basah kuyup, tetapi senyumannya tetap bersinar.
Tara terkejut melihat Kiran berlari menuju meja. "Kamu di sini!"
"Iya," jawab Tara, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat.
Kiran duduk di depan Tara dan mengamati wajahnya. "Aku sangat khawatir. Kenapa kamu menghindar?"
"Tapi aku tidak bisa bersama kamu seperti ini," jawab Tara.
Kiran menggenggam tangan Tara, memandang dalam-dalam. "Tara, aku tidak ingin mengubah perasaanmu. Tapi jika kamu merasa tidak siap, katakan saja. Aku akan menghormatinya."
Tara menatap mata Kiran yang penuh harapan. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk---cinta, kebingungan, dan penyesalan. "Kiran, aku merasa bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Kiran menarik napas dalam-dalam. "Jika kamu butuh waktu, ambil saja. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Tapi jika kamu ingin kita mencoba, aku ada di sini."
Saat Kiran berkata begitu, Tara merasakan ketulusan dalam suaranya. Ia merindukan perasaan bahagia yang dibawa Kiran ke dalam hidupnya. "Aku ingin mencoba," ungkapnya pelan.