Kiran mendengarkan dengan penuh perhatian. "Itu pasti sulit. Jarak memang bisa menghancurkan banyak hal."
"Iya, dan aku merasa bersalah karena merasa lebih baik setelah bertemu denganmu," Tara mengaku, menundukkan kepala.
Kiran tersenyum lembut. "Tidak ada yang salah dengan itu. Terkadang kita perlu menemukan kebahagiaan di tempat lain untuk melanjutkan hidup."
Malam berikutnya, Tara menerima pesan dari Kiran. "Hujan lagi malam ini. Maukah kamu menemani aku di kafe?"
Hujan memang selalu membawa kenangan, dan Tara merasa senang bisa bertemu Kiran lagi. Saat tiba di kafe, mereka berbincang lagi, tertawa dan saling berbagi cerita. Saat Kiran mengajaknya berjalan di luar, Tara tidak bisa menolak.
Mereka berjalan di tengah hujan dengan payung yang dibawa Kiran. Tara merasa bebas, merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang. Ketika Kiran menggenggam tangannya, ia merasakan aliran listrik yang mengalir di tubuhnya.
"Aku suka hujan," kata Kiran. "Semua orang cenderung bersembunyi di dalam rumah, tapi hujan adalah saat terbaik untuk merasakan hidup."
Tara tersenyum. "Aku setuju. Hujan adalah cara alam untuk menghapus kesedihan."
Namun, saat mereka berlari melawan hujan, Tara merasa ada sesuatu di dalam hatinya yang belum sepenuhnya terlepas dari Aditya. Ia menatap wajah Kiran dan merasa bingung, seolah terjebak dalam perasaan yang bertentangan.
Beberapa bulan berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Tara merasakan cinta mulai tumbuh dalam dirinya, namun setiap kali ia bersenang-senang bersama Kiran, bayang-bayang Aditya selalu menghantui pikirannya.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman yang sama, Tara mengalihkan pandangannya. "Kiran, aku merasa tidak adil padamu."