"Dorkas, kami sudah mengatur tanggal pernikahanmu. Begitu tiba musim panen jagung nanti kamu akan menikah dengan Umbu Nai Keba. Keluarganya sudah berjanji akan memberikan belis (9) berupa 100 ekor kerbau dan kuda serta 15 orang ata untukmu."
Dorkas menatap ayahnya dengan pandangan tidak percaya. Ia sudah lama mendengar nama Umbu Nai Keba, keluarga pria itu adalah salah satu keluarga terpandang di desa mereka. Merekalah pemilik sebagian besar ladang dan ternak di daerah ini. Namun ia tidak tahu jika orangtuanya telah mengatur perjodohannya dengan laki-laki itu.
"Dan jangan membantah. Kamu tidak dapat mengharapkan pernikahan lain yang lebih menguntungkan dari ini. Kamu tidak sekolah dan tidak terlalu cantik. Beruntung jika orang seperti Umbu Nai Keba mau menikahimu."
Dorkas tidak berani berkata-kata apalagi membantah ayahnya. Ayahnya ini orang yang cukup keras. Jika sudah memiliki keinginan harus dilaksanakan, apapun konsekuensinya. Sudah berapa kali ia melihat ayahnya berselisih paham dengan seseorang dan keesokan harinya orang tersebut tidak terlihat lagi. Ayahnya mampu membuat orang itu diusir dari desa mereka.
Lagipula apa yang dikatakan ayahnya benar, walaupun itu menyakiti hatinya. Dengan kekayaannya yang melimpah, seharusnya ayahnya dapat menyekolahkannya. Tidak harus tinggi seperti kakak laki-lakinya yang sampai bersekolah ke Jawa, cukup sampai kota Waingapu saja Dorkas sudah sangat berterimakasih. Tapi agaknya bagi ayahnya tidak ada gunanya menyekolahkan anak perempuan, karena toh pada akhirnya akan diambil orang keluar dari rumah.Â
Seandainya saja dulu Dorkas diizinkan melanjutkan sekolah selepas SD, mungkin ia memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Teman sekelasnya dulu, Ngila Kaka Ndaha, yang tidak terlalu pintar, masih di bawahnya sekarang sudah lulus SMA dan bekerja di kantor pemerintahan. Setahu Dorkas, belis yang ditawarkan oleh calon suami Ngila berjumlah lebih dari 100 ekor kerbau, padahal Ngila bukan bangsawan seperti dirinya.
Ada satu ide yang sempat terbersit di kepala Dorkas. Bagaimana jika ia lari saja dari rumah? Tapi lari kemana? Dan apa yang akan dilakukannya? Dia tidak memiliki cukup keterampilan untuk hidup mandiri. Ia hanya mampu membuat tenun ikat, namun memerlukan waktu lama sebelum kain yang dibuatnya dapat menghidupi dirinya.
"Jangan berpikir untuk lari dari rumah." Rupanya ayah Dorkas mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, "jika tidak... " ayah Dorkas menunjukkan parangnya yang berkilauan. Dorkas tahu, itu tidak berarti baik.
"Baik, Bapa." Akhirnya hanya itu yang dapat dikatakannya.
Pada akhirnya Dorkas memang menikahi laki-laki yang dipilihkan keluarganya untuknya. Umbu Nai Keba. Laki-laki itu memang berlaku baik padanya dan memberikannya 8 orang anak yang sehat. Namun sejak awal Dorkas sudah berjanji tidak akan memberikan hatinya pada laki-laki itu. Janji yang ditepatinya sampai hari kematiannya.
***