"Ayah sudah mengatakan, kamu harus putus dengan pacarmu itu."
Saver hanya diam. Dia sudah tahu apa yang akan dikatakan ayahnya ketika tahu ia masih bersama David, pacarnya.Â
"Nak, kamu sebaiknya mendengar apa kata ayahmu." Ibunya membujuk. Saver memandang wanita paruh baya itu. Wanita ini, dulu pernah mengatakan padanya bahwa awalnya ia tidak mencintai ayahnya.Â
Namun waktu meluluhkan hati wanita dan akhirnya ia pun mencintai suaminya, ayah Saver. Pernikahan ayah dan ibu Saver adalah pernikahan yang dirancang oleh orangtua mereka, kakek dan nenek Saver. Sama seperti pernikahan para kakek dan nenek, serta mungkin kebanyakan pernikahan kaum maramba (1) lainnya.
Perbedaan usia ayah dan ibu sekitar 12 tahun. Ketika dinikahkan, ibu masih mencintai laki-laki lain, pacarnya. Sayang pacarnya berasal dari golongan kabihu (2). Meksipun pacar ibu dulu berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik, kakek tidak menyetujuinya karena bagaimanapun ia bukan berasal dari kaum maramba.
"Kamu, nasehati anak gadismu ini," dengan gusar ayah Saver meninggalkan mereka berdua.
Saver menangis. Ia anak bungsu di keluarga ini. Semua kakaknya telah menikah. Beruntung bagi mereka, tidak ada yang jatuh cinta pada golongan di luar maramba. Semua menikah dengan restu orangtua dan dengan cinta. Meskipun Kornelis, kakak kedua Saver, akhirnya memilih untuk tinggal di Bali bersama istri dan anaknya. Alasannya sederhana, mereka ingin menjauh dari adat yang semakin lama semakin terasa mengikat.
"Kamu tahu Saver, cinta itu dapat tumbuh." Ibu Saver mengusap air mata putri kesayangannya.
"Tidak Mama. Aku tidak mau bernasib seperti Mama." Saver menunjukkan kelemahan ibunya.
"Tapi sekarang mama bahagia. Mama mempunyai lima orang anak yang baik seperti kalian dan telah dikaruniai cucu-cucu yang lucu," Ibunda Saver terdiam sejenak, "dan sekarang mama benar-benar mencintai bapamu."
"Iya, tapi berapa lama baru Mama dapat mencintai Bapa?" Saver bertanya lagi, "berapa lama Mama baru dapat memaafkan apa yang diperbuat oleh kakek pada Mama? Berapa waktu yang terbuang untuk menangisi perjodohan dengan Bapa?"
Ibunda Saver merenungi perkataan putri bungsunya itu. Ya, perlu waktu lama, bahkan sangat lama untuk memaafkan orangtuanya untuk mematahkan hatinya. Butuh waktu lebih lama lagi untuk dapat mencintai suaminya, ayah Saver. Bahkan sampai Kornelis, anak keduanya lahir, ia belum dapat mencintai suaminya.
Sebetulnya suaminya adalah orang yang baik. Ia jujur dan pekerja keras. Karena penghasilannya sebagai guru tidak terlalu memadai, Robert, itu nama ayah Saver, bekerja keras di kebun mereka. Tanaman unggulan mereka bukan kopi, namun kacang mete. Ketika tiba musim panen, Robert tidak menjual kacangnya dalam bentuk mentah namun diolah terlebih dahulu.Â
Itulah sebabnya mereka dapat menghasilkan lebih banyak lagi. Robert orang baik. Buktinya ia membebaskan para ata ndai (3) yang diperolehnya dari orangtuanya. Dulu ia menyangka suaminya melakukan itu karena tidak mampu membiayai kehidupan para ata ndai itu, karena golongan ata (4) memang bergantung penuh pada tuannya, namun jika dipikir lebih lanjut, tugas pengolahan kebun dan pemeliharaan hewan akan lebih mudah jika mereka tetap dibantu para ata.
Hanya ada satu ata yang tetap tinggal bersama mereka setelah Robert membebaskan para ata. Itu adalah Ra Mete, ata ngandi (5) miliknya. Ra Mete menolak untuk 'Ikut dibebaskan' karena merasa tidak punya keluarga dan tidak menikah. Ia ingin menemani tuannya sampai meninggal. Ra Mete meninggal lima tahun lalu.
Sebabnya hati ibunda Saver terbagi, antara tidak ingin mengecewakan suaminya, orang yang dicintai dan dihormatinya, dan tidak ingin membuat anak gadisnya mengalami patah hati yang sama dengan yang pernah dirasakannya.
"Lukas itu orang yang baik." ibunda Saver menyebutkan nama pemuda yang sekiranya akan dijodohkan dengan Saver. Pemuda yang lima belas tahun lebih tua dari Saver, namun berasal dari kaum maramba bokulu (6), bukan dari maramba kudu (7) seperti mereka. Itu pulalah yang menyebabkan Robert suaminya, sangat bersemangat menjodohkan Saver dengan pemuda itu.
"Ya, dan Lukas kaum maramba bokulu. Aku akan mendapatkan banyak ata jika menikah dengannya, sama seperti nenek dulu."
Yang dikatakan Saver benar adanya. Ketika dulu nenek Saver dari garis ibu menikah dengan kakek Saver, ia mendapatkan hadiah berupa 15 orang ata dari suaminya. Suatu kebanggaan tersendiri di masa itu namun sekarang mungkin akan membuat pusing, ada 15 mulut tambahan yang harus diberi makan.
"Dan nenek tidak mencintai kakek bahkan sampai ajal menjemputnya." Mata Saver berkaca-kaca, mengingat kisah cinta neneknya yang tragis. Meski bagaimanapun, jika neneknya tidak menikah dengan Umbu Nai Keba, kakeknya Saver, maka ibunda Saver tidak akan lahir ke dunia ini, demikian pula dengan Saver. Kisah cinta yang tragis namun jika tidak ada maka tidak ada cerita hari ini.
"Rambu(8), jangan berkata demikian." Ibunda Saver berusaha menenangkan putrinya. Sungguh salah rasanya dulu ia menceritakan perihal pernikahan orangtuanya pada anaknya.
***
"Dorkas, kami sudah mengatur tanggal pernikahanmu. Begitu tiba musim panen jagung nanti kamu akan menikah dengan Umbu Nai Keba. Keluarganya sudah berjanji akan memberikan belis (9) berupa 100 ekor kerbau dan kuda serta 15 orang ata untukmu."
Dorkas menatap ayahnya dengan pandangan tidak percaya. Ia sudah lama mendengar nama Umbu Nai Keba, keluarga pria itu adalah salah satu keluarga terpandang di desa mereka. Merekalah pemilik sebagian besar ladang dan ternak di daerah ini. Namun ia tidak tahu jika orangtuanya telah mengatur perjodohannya dengan laki-laki itu.
"Dan jangan membantah. Kamu tidak dapat mengharapkan pernikahan lain yang lebih menguntungkan dari ini. Kamu tidak sekolah dan tidak terlalu cantik. Beruntung jika orang seperti Umbu Nai Keba mau menikahimu."
Dorkas tidak berani berkata-kata apalagi membantah ayahnya. Ayahnya ini orang yang cukup keras. Jika sudah memiliki keinginan harus dilaksanakan, apapun konsekuensinya. Sudah berapa kali ia melihat ayahnya berselisih paham dengan seseorang dan keesokan harinya orang tersebut tidak terlihat lagi. Ayahnya mampu membuat orang itu diusir dari desa mereka.
Lagipula apa yang dikatakan ayahnya benar, walaupun itu menyakiti hatinya. Dengan kekayaannya yang melimpah, seharusnya ayahnya dapat menyekolahkannya. Tidak harus tinggi seperti kakak laki-lakinya yang sampai bersekolah ke Jawa, cukup sampai kota Waingapu saja Dorkas sudah sangat berterimakasih. Tapi agaknya bagi ayahnya tidak ada gunanya menyekolahkan anak perempuan, karena toh pada akhirnya akan diambil orang keluar dari rumah.Â
Seandainya saja dulu Dorkas diizinkan melanjutkan sekolah selepas SD, mungkin ia memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Teman sekelasnya dulu, Ngila Kaka Ndaha, yang tidak terlalu pintar, masih di bawahnya sekarang sudah lulus SMA dan bekerja di kantor pemerintahan. Setahu Dorkas, belis yang ditawarkan oleh calon suami Ngila berjumlah lebih dari 100 ekor kerbau, padahal Ngila bukan bangsawan seperti dirinya.
Ada satu ide yang sempat terbersit di kepala Dorkas. Bagaimana jika ia lari saja dari rumah? Tapi lari kemana? Dan apa yang akan dilakukannya? Dia tidak memiliki cukup keterampilan untuk hidup mandiri. Ia hanya mampu membuat tenun ikat, namun memerlukan waktu lama sebelum kain yang dibuatnya dapat menghidupi dirinya.
"Jangan berpikir untuk lari dari rumah." Rupanya ayah Dorkas mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, "jika tidak... " ayah Dorkas menunjukkan parangnya yang berkilauan. Dorkas tahu, itu tidak berarti baik.
"Baik, Bapa." Akhirnya hanya itu yang dapat dikatakannya.
Pada akhirnya Dorkas memang menikahi laki-laki yang dipilihkan keluarganya untuknya. Umbu Nai Keba. Laki-laki itu memang berlaku baik padanya dan memberikannya 8 orang anak yang sehat. Namun sejak awal Dorkas sudah berjanji tidak akan memberikan hatinya pada laki-laki itu. Janji yang ditepatinya sampai hari kematiannya.
***
"Menurut Mama, apa mungkin bapa akan melakukan apa yang dilakukan kakek buyut pada nenek?" Saver bertanya pada ibunya, matanya masih memancarkan kesedihan.
"Mama rasa tidak." Ibunda Saver menggelengkan kepalanya, "Bapamu itu, meskipun di luar keras, namun hatinya baik. Jika tidak, ia tidak akan membebaskan para ata atau membiarkan kakakmu, Kornelis, tinggal di Bali."
"Mengapa bapa begitu keras melarang aku menikah dengan David?" tanya Saver. Pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan lagi karena ia pun sudah tahu jawabannya. David bukan dari kaum Maramba, bahkan ia bukan orang Sumba asli.Â
Ayahnya pedagang keturunan Tionghoa, ibunya dari kaum kabihu. Otomatis David adalah kaum Kabihu, kaum yang satu tingkat di bawah kaumnya. Memang Kabihu bukanlah ata, mereka hidup bebas dan tidak tergantung pada kaum Maramba, namun gengsi keluarga mereka akan turun jika Saver akhirnya menikah dengan David.
Ibunda Saver menundukkan kepala, "tentu saja karena David orang Kabihu."
"Apa salahnya menikahi orang Kabihu?" Tanya Saver lagi.
"Tidak ada. Hanya saja kemungkinan orangtua David tidak akan dapat memberikan belis yang layak untukmu sehingga bisa dikatakan kamu tidak keluar dari rumah ini."
"Itu saja? Hanya belis?" Saver mencari kebenaran dalam mata ibunya.
"Orangtua David cukup berada, mereka dapat memberikan belis sebanyak apapun yang diminta keluarga kita."
"Bukan hanya itu." Ibunda Saver menelan ludah, "Karena status mereka yang di bawah keluarga kita, David harus mau ikut menjadi bagian dari keluarga kita. Sebab yang menurunkan kebangsawanan adalah pihak wanita."
"Yang betul Mama?" baru kali ini Saver mendengar tentang hal itu, "jadi, anak kami masih tetap masuk dalam golongan marimba?"
"Ya." Ibunda Saver menganggukkan kepala. "Itu pulalah yang menyebabkan banyak laki-laki golongan marimba yang menjadi perjaka tua, seperti ayahmu dulu. Mereka benar-benar menunggu sampai ada gadis golongan marimba yang sesuai dengan pilihan hatinya, atau pilihan orangtuanya. Jika mereka menikah dengan golongan di bawahnya maka keturunan mereka tidak termasuk golongan marimba lagi."
"Mama ... terimakasih telah memberitahukan hal ini." Saver memeluk erat ibunya. Ia bagaikan melihat titik terang di ujung terowongan.
"Itu menurut adat kita. Sekarang tinggal bagaimana keluarga David menyikapi hal ini. Apakah mereka setuju jika David masuk dalam keluarga kita atau tidak. Karena bagaimanapun pandangan orang berbeda-beda. Mama juga tidak yakin bapamu akan menerima begitu saja."
"Tidak apa-apa Ma. Terimakasih. Terimakasih." Sekali lagi Saver memeluk ibunya. Sekarang ia akan menghubungi David dan mengatakan apa yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan hubungan mereka. Jika David setuju, Saver akan mengajak pacarnya itu berbicara dengan ayahnya. Semoga David setuju.
Keterangan:
1. Maramba: kaum bangsawan di Sumba.
2. Kabihu: sebutan untuk golongan orang kebanyakan di Sumba.
3. Ata ndai: hamba pusaka, budak yang secara turun temurun tinggal dengan tuannya.
4. Ata: hamba / budak.
5. Ata ngandi: hamba yang dibawa oleh wanita kalangan maramba saat dipinang oleh laki-laki derajat maramba yang sama.
6. Maramba bokulu: para bangsawan yang karena keturunannya, kemampuannya, dan pengaruhnya tetap memelihara hubungan perkawinan dengan bangsawan-bangsawan lain. Golongan ini punya banyak orang bawahan, baik yang berasal dari golongan kabihu maupun ata. Golongan ini pula yang terpilih menjadi hangaji atau raja.
7.Maramba kudu: golongan yang tetap memelihara garis keturunan tetapi kemampuan dan kekuasaannya terbatas.
8. Rambu: sebutan untuk wanita bangsawan, namun saat ini digunakan juga sebagai panggilan sayang untuk anak perempuan.
9. Belis: mas kawin yang diberikan oleh pihak laki-laki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H