Mohon tunggu...
Marhaen Nusantara
Marhaen Nusantara Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di bumi nusantara, hidup di bawah bendera sang saka, meneruskan perjuangan revolusi leluhur Indonesia, menemukan kembali jati diri melalui ajaran para pendiri bangsa. Revolusi belum selesai.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bumi Nusantara yang Terlupa

12 September 2014   18:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:53 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bayang senja di tepi hijaunya sawah

Mentari terbenam, hilang di ujung samudera

Malam menyelimuti gubuk renta di bawah bayang pencakar langit

Di sanalah para petani, nelayan, dan kaum miskin kota menelan pahit

Merekalah penghuni nusantara yang terlupa,

sementara kaum berotak tak henti-henti beretorika

giat bersuara hanya demi secarik kertas hak konstitusionalnya

Atas nama kebebasan, kaum berotak menanam dan memupuk delusi

Berharap memetik buah yang hanya ia seorang diri konsumsi,

yakni kebaikan demokrasi..

Sementara jauh dari pusat kota banyak yang sulit mengais nasi,

terasing dan dipaksa untuk bungkam dan menangisi,

sesuatu yang mereka tak mengerti,

namun selalu saja dibahas di koran dan televisi

Ya mereka yang di tepian sawah, di tepian samudera raya

dan di bawah bayang-bayang pencakar langit.

Tak sadarkah bahwa mereka lelah disuruh memilih ini dan itu,

disuruh menonton ini dan itu, atraksi tanpa henti

padahal mereka hanya ingin hidup tenang jauh dari kebisingan,

perebutan kepentingan.. Inilah sentilan untuk para anggota dewan

Pilihlah pemimpin yang mewakili suara kami, kaum Marhaen Nusantara

Jadi, tak perlu kami jadi korban demokrasi yang menghabiskan energi.

Wahai kaum berotak,

untuk apa berdebat kalau bisa mufakat,

untuk apa mempercantik diri kalau bisa jadi diri sendiri,

untuk apa jadi pengikut kalau bisa jadi pemimpin,

apa hanya untuk dianggap baik oleh mata internasional?

apa engkau lupa dengan kekayaan nusantara sendiri, yakni Kearifan Lokal..

Mereka yang damai jauh dari kotak suara, yang ada hanya kebulatan suara

Sementara engkau  hanya bangga dengan perdebatan sosial media,

bangga dengan sandangan modernitas,

komentar berita sana sini yang seringkali melampaui batas.

Kaum berotak bebas bicara dengan kecukupannya

Saat yang tak berpunya harus menghamba pada perang opininya

dengan segenap perangkat pencuci otak yang ada.

Inilah sebuah fase bangsa,

Kian terpuruk dan nelangsa

Karena ulah para begundal intelektual

yang haus pamor dan pujian

yang dimuliakan, dicinta di depan mata kamera

disanjung dalam berita, dipuja bagai dewa

yang seakan-akan didamba  rakyat

Berbahagialah mereka yang dihinakan, yang dijerat hukum rimba,

yang selalu dipersalahkan karena berita

Memang hidup di dunia penuh pro dan kontra,

terima saja apa yang ada..

Entah sampai kapan rakyat kecil menderita,

terus menerus disuruh mendengar tanpa bisa bicara

Karena hak bicara hanya bagi mereka,

sang intelek, konglomerat, pengamat, dan

segenap jajaran kaum berpunya.

Namun satu hal yang pasti,

Bumi Nusantara pasti menang

walau disakiti, dirobek terus menerus jati dirinya

Ia akan tetap tegak, kuat, dan terhormat

oleh suatu gerakan kerakyatan penghuni nusantara

yang telah lama dipinggirkan.

Salam Revolusi Indonesia,

Marhaen Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun