Bayang senja di tepi hijaunya sawah
Mentari terbenam, hilang di ujung samudera
Malam menyelimuti gubuk renta di bawah bayang pencakar langit
Di sanalah para petani, nelayan, dan kaum miskin kota menelan pahit
Merekalah penghuni nusantara yang terlupa,
sementara kaum berotak tak henti-henti beretorika
giat bersuara hanya demi secarik kertas hak konstitusionalnya
Atas nama kebebasan, kaum berotak menanam dan memupuk delusi
Berharap memetik buah yang hanya ia seorang diri konsumsi,
yakni kebaikan demokrasi..
Sementara jauh dari pusat kota banyak yang sulit mengais nasi,
terasing dan dipaksa untuk bungkam dan menangisi,
sesuatu yang mereka tak mengerti,
namun selalu saja dibahas di koran dan televisi
Ya mereka yang di tepian sawah, di tepian samudera raya
dan di bawah bayang-bayang pencakar langit.
Tak sadarkah bahwa mereka lelah disuruh memilih ini dan itu,
disuruh menonton ini dan itu, atraksi tanpa henti
padahal mereka hanya ingin hidup tenang jauh dari kebisingan,
perebutan kepentingan.. Inilah sentilan untuk para anggota dewan
Pilihlah pemimpin yang mewakili suara kami, kaum Marhaen Nusantara
Jadi, tak perlu kami jadi korban demokrasi yang menghabiskan energi.
Wahai kaum berotak,
untuk apa berdebat kalau bisa mufakat,
untuk apa mempercantik diri kalau bisa jadi diri sendiri,
untuk apa jadi pengikut kalau bisa jadi pemimpin,
apa hanya untuk dianggap baik oleh mata internasional?
apa engkau lupa dengan kekayaan nusantara sendiri, yakni Kearifan Lokal..
Mereka yang damai jauh dari kotak suara, yang ada hanya kebulatan suara
Sementara engkau  hanya bangga dengan perdebatan sosial media,
bangga dengan sandangan modernitas,
komentar berita sana sini yang seringkali melampaui batas.
Kaum berotak bebas bicara dengan kecukupannya
Saat yang tak berpunya harus menghamba pada perang opininya
dengan segenap perangkat pencuci otak yang ada.
Inilah sebuah fase bangsa,
Kian terpuruk dan nelangsa
Karena ulah para begundal intelektual
yang haus pamor dan pujian
yang dimuliakan, dicinta di depan mata kamera
disanjung dalam berita, dipuja bagai dewa
yang seakan-akan didamba  rakyat
Berbahagialah mereka yang dihinakan, yang dijerat hukum rimba,
yang selalu dipersalahkan karena berita
Memang hidup di dunia penuh pro dan kontra,
terima saja apa yang ada..
Entah sampai kapan rakyat kecil menderita,
terus menerus disuruh mendengar tanpa bisa bicara
Karena hak bicara hanya bagi mereka,
sang intelek, konglomerat, pengamat, dan
segenap jajaran kaum berpunya.
Namun satu hal yang pasti,
Bumi Nusantara pasti menang
walau disakiti, dirobek terus menerus jati dirinya
Ia akan tetap tegak, kuat, dan terhormat
oleh suatu gerakan kerakyatan penghuni nusantara
yang telah lama dipinggirkan.
Salam Revolusi Indonesia,
Marhaen Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H