Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Adu Kuat Disrupsi Digital dan Kultur Patrimonialisme dalam Dunia Politik

16 Januari 2023   22:17 Diperbarui: 18 Januari 2023   07:36 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDI-P Puan Maharani(Dokumentasi PDI-P)

Saat HUT PDI Perjuangan beberapa waktu lalu banyak pihak mengikuti dan memperkirakan bahwa disaat itulah Capres pengganti Presiden Joko Widodo akan diumumkan kepada publik langsung oleh Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri.

Namun sayangnya, ketika berpidato, publik yang harap-harap cemas menunggu pengumuman tersebut akhirnya harus gigit jari. Megawati bersikukuh tidak mengumumkan calon yang diusung partai banteng tersebut.

Dari serangkaian peristiwa politik yang terjadi mendekati pesta demokrasi, termasuk di dalamnya pidato Ibu Mega, ada satu hal yang mungkin menarik untuk diperbincangkan, yaitu bagaimana sistem politik Indonesia di era disrupsi ini khususnya disrupsi digital masih manut, dan mingkem, tidak mampu menandingi kuatnya patrimonialisme partai politik di Indonesia.

Patrimonialisme, isme-yang Kental dan Mengakar Kuat di Indonesia

Patrimonialism is form of political organization in which authority is based primarily on the personal power exercised by a ruler, either directly or indirectly (Johannes Imke Bakker).

Di sisi lain, Donald K. Emmerson (1983) mengungkapkan bahwa patrimoialisme merujuk pada sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada penguasa perseorangan tertentu (kingship rulership) yang mengakumulasikan kekuasaan tersebut.

Memang dalam beberapa peristiwa, kekuasaan ini mampu memberi perubahan akan tetapi perubahan-perubahan tersebut masih berada di bawah kekuasaan atau legitimasi kaum elit.

Gambar sebagai ilustrasi/By August de Richelieu/Sumber:pexels.com
Gambar sebagai ilustrasi/By August de Richelieu/Sumber:pexels.com

Lantas bagaimana patrimonialisme punya pengaruh kuat terhadap sistem politik Indonesia?

Sadar atau tidak, patrimonialisme ini sangat kuat mengakar dalam sistem politik di Indonesia, hal ini bisa terlihat dari produk hukum Parpol berupa AD/ART yang sifatnya mengikat setiap anggota Parpol.

Di sisi lain, dalam mekanisme penentuan Capres (Calon presiden) yang nantinya diusulkan, keputusan akhirnya tetap berada di tangan para ketua umum dan para elit partai sesuai dengan apa yang tertulis dalam AD/ART atau mekanisme partai.

Kuatnya patrimonialisme dalam politik Indonesia kelihatannya dipengaruhi oleh unsur-unsurnya seperti klientelisme unsur lainnya seperti mistisme atau kultus individual.

klientelisme adalah sebuah istilah yang merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun para pimpinan, ketua umum, atau elit partai politik dan lingkungan partai yang dipimpinnya.

Hal ini bisa terlihat bagaimana kuatnya pengaruh pimpinan partai yang ada sehingga loyalitas anggota tertuju pada pribadi pemimpin tersebut. Loyalitas tersebut minimal timbul karena kharisma yang dimiliki oleh ketua, pimpinan, atau elit partai politik.

Selain unsur klientelisme ada juga unsur yang boleh dikatakan nonrasional. Misalnya adanya kultus individual yang diikuti hal-hal yang berbau mistis mengikuti sosok pemimpin, ketua, atau pimpinan parpol ("Penguasa" Parpol).

Jadi, "penguasa" Parpol tersebut digambarkan memiliki kharisma tersendiri yang diperoleh karena berasal dari keturunan dinasti politik yang sudah terbangun sejak dulu, sehingga darah dinasti itu akan tetap melekat dan tanpa sadar, publik akan mengakui bahkan loyal atau setia terhadap sosok "penguasa" tadi.

Gambar sebagai ilustrasi/By Mikhail Nilov/Sumber: pexels.com
Gambar sebagai ilustrasi/By Mikhail Nilov/Sumber: pexels.com

 Disrupsi Digital vs Patrimonialisme

Disrupsi digambarkan sebagai sebuah perubahan besar yang membongkar cara-cara konvensional yang selama ini dilakukan.

Disrupsi digital yang lahir ditengah-tengah pandemi menyebabkan kontak sosial tidak lagi dibatasi ruang dan waktu, dimana dalam disrupsi ini komunikasi terjadi hanya dalam sekali click pada perangkat-perangkat digital yang dimiliki tanpa perlu bertatap muka secara langsung.

Lahirnya layanan-layanan digital dan menjamurnya media sosial sejatinya sangat memudahkan aktifitas manusia jika dimanfaatkan dengan sangat apik. Disrupsi ini menyentuh hampir semua lini kehidupan, dimulai dari ekonomi, sosial budaya, bahkan sampai politik.

Dalam politik, media sosial dimanfaatkan untuk memberi suara, menyampaikan pendapat, bahkan kritikan secara terbuka kepada para pejabat publik yang merupakan representatif masyarakat.

Kemunculan media sosial ini kemudian sering dimanfaatkan masyarakat untuk menyatakan dukungan bahkan penolakan mereka bagi calon-calon yang dianggap mampu memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Sekalipun demikian, tidaklah menjadi sebuah hal yang pasti bahwa suara mereka didengar elit partai sebab pada faktanya parpol masih mejadi kunci terakhir penentuan siapa yang diusulkan mereka untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden.

Dengan demikian, proses penetuan ini masih dikategorikan semi tertutup karena inisiasi dan pengusulan belum melibatkan masyarakat secara langsung melainkan hanya berputar di tangan elit partai.

Nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Erick Thohir, Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno telah muncul di permukaan sejak Juli hingga Agustus 2022.

Akan tetapi kemunculan secara buttom up tersebut belum menjadi pilihan dibanding sosok Prabowo Subianto, atau Puan Maharani yang sering menonjol.

Dugaan sementara penyebab buttom up seolah-olah tidak digubris karena faktor personalisasi, ketokohan dan darah dinasti yang dimiliki nama-nama seperti Prabowo dan Puan.

Kedua nama itu seperti mengakar kuat karena Prabowo merupakan Ketua Gerindra yang beberapa kali maju sebagai calon presiden, sementara Puan mewarisi darah dinasti Soekarno dan juga dibayang-bayangi nama besar Sang Ibu, Megawati Soekarnoputri yang adalah Ketua Umum PDI Perjuangan.

Mengutip Pratama (2022), personalisasi ini merupakan sebuah keadaan di mana individu elit punya posisi yang sangat penting daripada organisasi atau kepentingan kolektif lain di dalam partai.

Hal tersebut menyebabkan "kekuatan" media sosial yang dianggap sangat cepat untuk mempengaruhi pendapat masyarakat-pun seolah tak mampu menempatkan masyarakat sebagai "penguasa utama" untuk memilih sendiri siapa calon presiden yang diinginkan.

Hal tersebut pernah disinggung Dorojdatun (1980) yang menggambarkan patrimonial itu sebagai unsur "perkawulaan" dengan menempatkan gusti dan kawula sebagai dasar pemikirannya.

Sejalan dengan itu, pendapat Pratama (2022) menyatakan dalam konteks politik, personalisasi gusti merujuk pada para elit yang pada urusan formalnya, elit menguasai dan mengendalikan jalannya partai, salah satunya sebagai pengambil keputusan tertinggi.

Pada akhirnya disrupsi teknologi digital yang terjadi belum menjadi alat "penerobos" dalam dunia perpolitikan terkhusus dalam hal peyampaian suara masyarakat untuk menentukan pemimpin yang diinginkan karena diakhir perjalanan, penetuan pencalonan tetap berada di tangan pimpinan dan elit parpol yang akan berkontestasi.

Di sisi lain, parpol yang digadang-gadang punya basis suara yang kuat semestinya memanfaatkan media sosial untuk mendengar suara masyarakat karena masyarakat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam berdemokrasi. Suara rakyatlah yang nantinya menetukan siapa yang dinilai layak untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.

Sumber :

[1],[2],[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun