Hal tersebut pernah disinggung Dorojdatun (1980) yang menggambarkan patrimonial itu sebagai unsur "perkawulaan" dengan menempatkan gusti dan kawula sebagai dasar pemikirannya.
Sejalan dengan itu, pendapat Pratama (2022) menyatakan dalam konteks politik, personalisasi gusti merujuk pada para elit yang pada urusan formalnya, elit menguasai dan mengendalikan jalannya partai, salah satunya sebagai pengambil keputusan tertinggi.
Pada akhirnya disrupsi teknologi digital yang terjadi belum menjadi alat "penerobos" dalam dunia perpolitikan terkhusus dalam hal peyampaian suara masyarakat untuk menentukan pemimpin yang diinginkan karena diakhir perjalanan, penetuan pencalonan tetap berada di tangan pimpinan dan elit parpol yang akan berkontestasi.
Di sisi lain, parpol yang digadang-gadang punya basis suara yang kuat semestinya memanfaatkan media sosial untuk mendengar suara masyarakat karena masyarakat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam berdemokrasi. Suara rakyatlah yang nantinya menetukan siapa yang dinilai layak untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H