Mohon tunggu...
Marasi Joel Silvano
Marasi Joel Silvano Mohon Tunggu... Lainnya - Profil untuk tugas-tugas sekolah

Siswa SMA Negeri 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Realitas Nyata

2 Desember 2020   00:41 Diperbarui: 2 Desember 2020   00:52 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di depanku, warna-warna bergejolak, bentuk-bentuk berubah dan berpindah tempat. Sebuah bentuk persegi panjang membatasi semua bentuk-bentuk yang bergejolak. 

Bentuk-bentuknya mengambil mataku dan memikatku untuk tidak berhenti. Seluruh tubuhku tidak bergerak melainkan kedua tanganku yang bergeser dan memencet tombol-tombol di depanku. 

Apa yang aku alami sekarang tidak ingin kutinggalkan. Aku tidak ingin memikirkan apapun selain gairah yang aku alami sekarang ini. Aku tidak ingin ini untuk berakhir. Kemudian semuanya berhenti, sebab aku mati.

Aku sedang memainkan video game fps favoritku. Karakter yang aku mainkan baru saja mati, dan aku menjadi sadar lagi. Aku menjadi sadar akan lingkungan sekitarku. Kamarku gelap, jari pendek jam menunjukkan angka satu. Aku memainkan permainanku untuk berjam-jam tanpa henti. 

Terakhir aku sadar akan lingkungan sekitarku, suasana masih cerah. Aku baru sadar untuk seberapa lama aku bermain. Aku memutar kepalaku dan melihat tempat tidur di belakangku. 

Untuk setiap detik aku melihatnya aku makin terdorong untuk berbaring di atasnya. Akhirnya aku menyerah. Aku mematikan komputer dan tidur, mengakhiri malam singkat ini.

Pada esok hari, aku bangun jam 8 pagi. Aku anak SMA jadi seharusnya aku sekolah, tetapi akibat suatu tragedi aku diizinkan orang tuaku untuk seminggu. Aku tergeletak di atas kasur. Otakku yang masih kantuk tidak memikirkan apapun. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan, kecuali bukan tentang tragedi itu.

"Sola, kamu udah bangun belum?"

Ibuku masuk kamarku dan melihat aku berbaring di atas tempat tidurku.

"Aku gapapa mama."

"Mau telur gak?"

"Oke", aku jawab.

Aku keluar dari kamarku dan masuk ruang utama rumahku. Aku duduk di sofa di depan TV dan membuka HP-ku untuk melihat notifikasi yang ada. Puluhan pesan menungguku. Aku mengabaikannya, tidak berguna aku melihat pesan-pesan itu. Ibuku menaruh dua telur tebus pada piring kecil di depanku. Aku mengambil salah satu telurnya dan memakannya.

"Halo Sola, kamu gimana hari ini? Baik-baik aja?"

"Baik pah."

Ayahku datang dari kamarnya. Ia memakai baju kemeja dan celana panjang. Ia kelihatannya siap pergi ke kantor.

"Kamu benar baik?"

"Iya papa."

"Oke, kalau gitu papa pergi ke kantor ya. Tetap baik ya mang."

"Iya pah."

Dengan itu, ayahku pergi keluar rumah.

Setelah itu aku balik ke dalam kamarku. Aku menyalakan komputerku dan permainanku. Aku bermain untuk sejam rasanya sebelum ibuku masuk kamarku lagi.

"Sola, dek, sibuk engga?" ibuku bertanya.

"Engga mah, ada apa?" aku jawab.

"Engga, mama hanya mau mastiin aja. Kamu baik-baik aja kan?"

"Iya mama."

"Benar kamu baik-baik saja? Kamu sudah lama sekali memainkan game itu. Kamu harus balik ke sekolah juga pada akhirnya."

"Iya mama."

"Kamu itu kelihatannya baik-baik aja. Itu senin depan sekolah lagi ya."

"Iya mama."

"Nanti kalau bisa belajar juga ya untuk siap-siap."

"Oke mama."

Ibuku meninggalkan aku dan aku lanjut memainkan permainanku. Aku bermain untuk berjam-jam tanpa henti. Untuk satu minggu ini, hari-hariku memiliki siklus itu. Aku hanya berhenti untuk makan, buang air, dan tidur. Kadang tidur pun tidak pasti dan terakhir kali aku mandi dua hari yang lalu. 

Aku mengulangi siklus beracun ini dan aku tidak mau henti. Pokoknya selama aku tidak ingat akan tragedi itu aku akan baik-baik saja. Aku bermain terus sampai malam dan tidur di akhir hari.

Siklus ini berulang terus untuk satu minggu. Daripada menghadapi masalahku, aku berlari terus. Aku tidak ingin melihat atau mengingat apapun tentang tragedi itu, jadi aku terus bermain sampai aku tidak bisa ingat apapun lagi. Bagaimana aku bisa menghadapinya? Setiap kali aku memikirkannya aku merasa sedih, sakit, dan marah. 

Aku ingin sampai suatu titik di mana aku tidak bisa mengingat apapun lagi tentang tragedi itu, jadi itulah yang kulakukan. Dengan permainanku sebagai obat, aku memilih untuk bermain terus sampai aku tidak bisa ingat apapun. Itulah yang terjadi. Di akhir minggu itu aku lupa semuanya tentang tragedi itu.

Setelah minggu itu aku melanjutkan sekolah, pelajarannya berlangsung seperti biasa seperti tidak ada yang berubah. Beberapa teman seangkatanku juga datang untuk berbicara denganku, kelihatannya lebih sering dari biasa. Seperti biasa pun, sekolah menyediakanku dengan tugas-tugas untuk di rumah. 

Di rumah tidak banyak perubahan. Ibu dan Ayah selalu di luar rumah untuk bekerja. Aku sibuk mengerjakan tugas-tugasku, tetapi setelah aku selesai aku menjadi lebih sering menggunakan waktuku untuk memainkan permainanku. Rasanya ketika aku bermain tidak bisa dibandingkan dengan rasa lain.

Saat aku bermain, aku merasa seakan apa yang ada hanya di dalam permainan itu. Aku merasa bagai dunia asli tidak ada dan masalah-masalahnya juga. Bagai dunia itu adalah duniaku, sebuah dunia yang hasilnya selalu baik, dimana aku bisa menentukan dan membuat hasil sesuai keinginanku. Setidaknya di sini aku bisa melupakan semua masalah-masalahku. Ketidaktahuan adalah kebahagiaan.

Untuk satu minggu, hidupku berjalan seperti itu, aku tidak menganggapi masalah-masalahku. Untuk dua minggu, aku memilih untuk tidak tahu. Pada hari minggu, aku pergi lagi ke gereja. Semuanya kelihatan normal sampai dibacakan warta jemaat. Aku ingat dengan tepat apa yang dikatakan dalam warta tersebut.

"Berita duka, berikut jemaat yang telah dipanggil kembali ke Bapak mereka,"

Beberapa nama disebutkan, namun hanya satu dari nama-nama tersebut yang mengambil napasku.

"Cecilia Margaret Simanjuntak,"

"David Cristopher Hutabarat,"

"Mikael Rowan Nababan,"

Saat aku mendengar nama itu, semuanya berhenti untuk aku. Ibadah terus berlanjut tetapi untuk aku, semuanya berhenti.

'Itu abangku.'

'Abangku mati'

Itulah yang kupikirkan, dan itulah yang kupikirkan untuk sisa ibadah itu, kemudian untuk sisa hari itu. Kedua pikiran itu terulang terus menerus untuk sisa ibadah itu, kemudian dalam perjalanan pulang, kemudian di dalam rumah.

Dari ibadah dalam gereja, sampai berbaring di atas tempat tidurku. Waktu yang lewat tidak terasa. Permainanku tidak bisa membutakanku sekarang. Kebenaran telah diletakkan di depan wajahku. Aku tidak ingin ingat. Aku menyalakan lagi komputerku dan memainkan permainanku, namun sebanyak aku bermain, aku tidak bisa lupa. Aku tidak lagi bermain dengan baik, pikiranku terbanjir.

'Main saja terus, lihatlah itu membawamu ke mana.'

'Kamu saja tidak bisa menghadapi pikiranmu sendiri.'

'Hadapilah saja, abangmu sudah mati.'

Aku berhenti, aku memegang kepalaku bagai ingin meledak. Aku menggaruk kepalaku sekuat mungkin, berharap bahwa rasa sakitnya akan menghalang pikiranku. Aku memukul mejaku dan membuat suara besar dari kamarku.

"Heh, kenapa sih berisik amat?" ibuku masuk ke dalam kamarku. Kelihatannya untuk mencari sumber dari suara tadi.

"Ya ampun, masih main itu aja kamu. Kamu main itu non-stop terus."

"Iya mama."

"Kamu iya mama, iya mama terus aja. Emang kamu robot apa. Apa permainan itu buat kamu jadi robot."

"Engga mama."

"Ini bukan hari libur dek, kamu udah engga diizin lagi. Bahkan kalau izin pun bukan berarti kamu main aja. Kamu aja tahu engga sih kenapa kamu diizinin?"

Ibuku terus memarahi aku sampai akhirnya ia berteriak.

"Abangmu meninggal, kamu disini aja main game kayak engga tahu!"

Setelah ia meneriakkan itu ia mulai menangis, kemudian ia membanting pintu tutup selagi keluar dari ruangan.

Setelah drama itu, aku tergeletak di atas tempat tidur dan berefleksi. Aku anggap tidak tahu dan telah memilih untuk menghindari masalahku. Sekarang aku tidak memiliki pilihan lain, masalahku tepat di depanku dan aku tidak bisa menghindarinya.

Pada hari tragedi itu terjadi, aku sedang berjalan ke mall dengan abangku. Itu sesuatu yang jarang terjadi, aku dan abangku biasanya tidak dekat. Tetapi sekitar waktu itu, aku merasa kita menjadi semakin dekat. Kita menjadi lebih sering melakukan aktivitas bersama. Aku merasa kita bisa ulang lagi dari awal. 

Sebagai salah satu aktivitas kita, aku memilih untuk pergi ke mall. Waktu yang kita jalankan di mall itu sangat baik, kita pun menjadi lupa waktu. Tetapi hari menjadi malam, keadaan di luar menjadi gelap. 

Pada hari itu, ia ditabrak truk. Perasaan yang aku lewati melihat tubuh dia berbaring tergeletak di tengah jalan, sakit, sedih, kehilangan harapan. Semua perasaan itu bergabung membentuk racun yang bisa mematikan gajah.

Aku tidak bisa berpikir apapun selain tubuhnya yang tergeletak untuk hari itu, dan hari setelah itu. Aku merasa seperti aku tidak bisa hidup lagi tanpanya. Saat pikiran bahwa aku tidak akan melihatnya lagi masuk, aku merasa bahwa air mataku cukup untuk membuat sebuah banjir. 

Aku tidak ingin memikirkan hal itu lagi, jadi aku memilih untuk tidak tahu. Aku membanjirkan pikiranku dengan permainanku dengan harapan bahwa aku tidak akan ingat apapun dan rasa sedihnya akan hilang. Inilah aku, seseorang yang rela melupakan abangnya untuk permainan. Aku hanya ingin rasa sakitnya untuk berhenti, aku tidak ingin untuk sampai di sini.

Aku bangun esok hari menangis. Ayah dan ibuku mendengar tangisanku dan datang ke dalam kamarku. Aku berbicara dengan mereka dan menjelaskan apa yang kupikirkan.

"Kita kamu tidak tahu kamu sakit begitu nak. Kita kira kamu kelihatannya baik-baik aja. Kita sakit juga nak, kita rindu juga," ucap ibuku sambal menahan tangisannya.

"Gapapa kamu menangis nak, kita semua sedih kehilangan dia," ucap ayahku.

"Aku hanya kayak itu supaya tidak merasa sakit lagi, Maaf mama papa kalau aku kelihatannya tidak peduli," ucap aku menjawab mereka.

Sisa dari hari itu aku jalankan di rumah. Ayah dan ibuku izin dari pekerjaan mereka untuk berbicara dengan aku dan mendampingi aku dalam kesedihanku.

Setelah hari itu, aku memilih untuk menghadapi realitas untuk apa adanya. Setelah beberapa minggu aku masih merasa sakit memikirkan hal itu, tetapi tidak seburuk lagi. 

Aku telah menerima bahwa ia tidak akan ada lagi di sampingku, dan walaupun sakit untuk menghadapinya, tetap saja lebih baik dari melarikan diri darinya. Aku ingat-ingat ke waktu aku terus memainkan permainanku untuk menenggelamkan diriku. 

Teknologi zaman ini bisa berbahaya seperti itu. Kita bisa tertarik untuk hidup dalam dunia itu yang kelihatannya lebih baik dan lebih sempurna, namun itu bukanlah kehidupan nyata. Tetapi sekarang aku tahu tidak ada hidup yang lebih asli dari hidup ini Aku akan terus hidup sebisaku dan aku tidak akan lari dari kehidupan nyata lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun