"Mikael Rowan Nababan,"
Saat aku mendengar nama itu, semuanya berhenti untuk aku. Ibadah terus berlanjut tetapi untuk aku, semuanya berhenti.
'Itu abangku.'
'Abangku mati'
Itulah yang kupikirkan, dan itulah yang kupikirkan untuk sisa ibadah itu, kemudian untuk sisa hari itu. Kedua pikiran itu terulang terus menerus untuk sisa ibadah itu, kemudian dalam perjalanan pulang, kemudian di dalam rumah.
Dari ibadah dalam gereja, sampai berbaring di atas tempat tidurku. Waktu yang lewat tidak terasa. Permainanku tidak bisa membutakanku sekarang. Kebenaran telah diletakkan di depan wajahku. Aku tidak ingin ingat. Aku menyalakan lagi komputerku dan memainkan permainanku, namun sebanyak aku bermain, aku tidak bisa lupa. Aku tidak lagi bermain dengan baik, pikiranku terbanjir.
'Main saja terus, lihatlah itu membawamu ke mana.'
'Kamu saja tidak bisa menghadapi pikiranmu sendiri.'
'Hadapilah saja, abangmu sudah mati.'
Aku berhenti, aku memegang kepalaku bagai ingin meledak. Aku menggaruk kepalaku sekuat mungkin, berharap bahwa rasa sakitnya akan menghalang pikiranku. Aku memukul mejaku dan membuat suara besar dari kamarku.
"Heh, kenapa sih berisik amat?" ibuku masuk ke dalam kamarku. Kelihatannya untuk mencari sumber dari suara tadi.