Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saatnya Deklarasi Tanpa Kata-Kata

26 Oktober 2011   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:30 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya Pungki Wiryawan Purboyo

Sesekali kita memang perlu mengingat bahwa aku dan engkau adalah kami.

Karena pada hari-hari biasa, kita begitu sibuk dengan diri-sendiri. Lebih-lebih dunia kita begitu riuh oleh kegenitan, kekasaran, dan kedangkalan yang tak tentu arah. Tak heran jika hingar-bingar semacam itu semakin menegaskan keterasingan kita, bahkan dengan diri sendiri.

.

Sesekali kita memang perlu mendeklarasikan ikatan kekamian tersebut dengan lantang.

Karena banyak kejadian yang membuat kita merasa bersatu, namun kebanyakan hanya sebatas permukaan. Bahkan persatuan kita itu acapkali hanya berdasarkan keluhan dan kekecewaan, bukan harapan dan cita-cita. Jika kesamaan tanah-tumpah-darah, kebangsaan, dan bahasa persatuan itu tidak cukup untuk memperkokoh rasa kekamian kita, barangkali kita perlu melakukan pembaruan.

.

Dari mana lagi pembaruan itu dimulai kalau bukan dari penglihatan kita sendiri ?

Segala informasi yang kita butuhkan sesungguhnya sudah diserakkan, namun seringkali mata kitalah yang tidak in-formation, yakni tidak berada dalam formasi yang tepat. Ketika kita berpihak pada warna biru, maka segala yang biru sajalah yang tampak di mata kita. Dan ketika kita memfavoritkan gaya bahasa tertentu, gaya yang berbeda akan terlewatkan dari pengamatan kita.

Bagaimana mungkin mengharapkan penyegaran, jika kita tidak membuka diri ?

Mana ada yang namanya pembaruan, jika kita menyempitkan diri dalam keberpihakan ?

.

Beruntungnya kita memiliki Alam yang menyediakan segalanya.

Di antara semua yang tak berpihak, tak ada yang menandingi Matahari. Dan di antara semua yang terbuka, tak ada yang mampu mengalahkan Langit. Tak pernah Matahari memilih siapa yang layak menerima cahayanya, bahkan Langit pun selalu membuka dirinya pada mereka yang in-formation.

Kini tinggal satu pemain yang kita perlukan untuk menyempurnakan analogi ini, yaitu :

Siapakah mereka yang in-the right-formation untuk memperoleh pembaruan dari Matahari dan Langit tersebut ?

.

Mari kita amati mereka yang telah memanfaatkan kemurahan Matahari dan Langit sebagai alat pemersatu mereka.

Di antara mereka adalah sekelompok hewan kecil, namun mereka menguasai hampir seluruh daratan Bumi. Mereka tak cukup cerdas sebagai satu dan dua individu, namun amat cemerlang sebagai jamaah. Mereka mewarnai Bumi sejak puluhan juta tahun lalu, namun kehidupan mereka selalu menjadi inspirasi, bahkan bagi masa depan kita.

.

Mereka adalah kaum semut, salah satu mahluk sosial yang paling berbudaya itu !

Komitmen mereka terhadap regenerasi begitu tinggi, terbukti dengan adanya pola asuh, pendampingan, serta pelatihan yang amat terpuji. Teknologi mereka mencengangkan, baik dalam menemukan sumber makanan, membangun sarang, juga mengembangkan strategi pertahanan. Meski tampak lemah ketika berada di jemari kita, namun sebagai jamaah mereka adalah organisme tunggal yang gagah. Begitu banyak kiat sukses yang kita perlukan dari mereka, meliputi teknik algoritma tingkat tinggi, kepemimpinan efektif, gagasan tentang masyarakat ideal, dan masih banyak lagi.

.

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Karya : Robertus Agung Sudiatmoko"][/caption]

.

Terhadap bahaya, semut adalah pejuang gigih yang tak kenal takut. Namun terhadap sesamanya, mereka adalah penyayang yang siap berkorban. Bila perlu, semut rela menjadi umpan, benteng, jalan, juga jembatan bagi rekan-rekan mereka. Bahkan perut mereka dua: sebuah untuk diri sendiri, dan sebuah lagi untuk berbagi. Betapa mengherankan mahluk bersahaja ini, karena kehidupan sosial mereka tak mengenal masalah kemacetan, overpopulasi, pengangguran, kemiskinan, dan berbagai kekacauan lainnya.

.

Siapakah gerangan pemimpin koloni yang mau berbaris rapi tanpa instruksi komandan itu ?

Adakah pengawas bagi serangga pemberani yang rela bekerja keras dengan integritas begitu tinggi ?

Jika ada motivator yang telah membimbing mereka menjadi team players, di manakah ia berada ?

Dan sebagai koloni yang seakan-akan berpegang pada semboyan “Semua untuk Satu, Satu untuk Semua”, kita benar-benar perlu mengenal siapa pemimpin mereka !

.

Menariknya, ternyata tak ada sosok pemimpin yang dominan dalam koloni semut; bahkan Ratu mereka ‘hanyalah’ Ibunda bersama yang menjaga kelangsungan reproduksi. Tak ada sentralisasi komando, karena kepemimpinan dalam kerajaan semut itu merata dan terdistribusi. Entah apa yang membuat individu semut begitu disiplin dan berdedikasi.

Mereka semua bagaikan satu jiwa, dimana peleburan aku menjadi kami mengubah mereka menjadi sebuah superorganisme.

.

Rahasia semut dalam menata-diri itu ternyata terletak pada penglihatan mereka !

Mata mereka memiliki polariskop, artinya : Ke manapun ia diarahkan, yang terlihat adalah peta warna-warni. Dengan peta tersebut, mereka dipandu menuju informasi apapun yang mereka butuhkan. Mereka tak akan pernah tersesat, selama polariskop mereka memiliki kapasitas untuk mengenali seluruh spektrum cahaya. Seyogyanya mereka tak akan pernah tersesat, karena sumber peta tersebut adalah ...  Matahari.

.

Ketika cahaya Matahari memancar, adalah Langit yang paling siap untuk menjadi reflektornya.

Langitlah yang kemudian mengubah berkas cahaya itu menjadi spektrum pelangi *). Berkat Langit, berkas cahaya putih -yang seringkali tajam, menyilaukan dan tak mudah diikuti- itu menjelma menjadi peta warna-warni. Betapa beruntungnya hewan berpolariskop seperti semut dan lebah, karena peta tersebut menjadikan mereka fokus pada tujuan, tanpa perlu disesatkan oleh hingar-bingar dunia yang tak bermakna !

.

Namun kita tak perlu iri pada semut, meski mata lahir kita tak berpolariskop.

Kita mempunyai mata batin yang –jika dikembangkan- berpotensi untuk menjadi semacam polariskop. Kita bahkan mampu membaca spektrum cahaya dalam bentuk yang jauh lebih kaya. Bagi kita, bukan hanya Langit yang bisa mengubah cahaya Ilahi menjadi pesan warna-warni. Reflektor dan cermin itu tersebar di segala penjuru, entah dalam bentuk kemegahan gunung, keagungan samudera, keindahan bunga, kecerdikan semut, atau kelihaian virus. Reflektor itu juga terserak di antara buku, dalam perilaku para guru, dalam beningnya mata kanak-kanak, dalam ketakberdayaan si miskin, juga dalam kepedihan mereka yang tersisih.

.

Tak mungkin ada kesalahan dalam spektrum pelangi, karena kesalahan selalu terletak pada ketidaklengkapan polariskop kita sendiri. Jika mata kita terpaku pada keburukan dan kekecewaan, itu karena kita gagal menemukan keutuhan spektrumnya. Berpihak hanya pada biru dan kuning saja akan membuat kita kedodoran memahami jingga. Bahkan ketika mata semut –dalam percobaan-**) ditutup sebagian, atau ketika kepadanya dipaparkan spektrum cahaya buatan yang tak utuh, semut mengalami disorientasi.

Ia gagal mengenali saudaranya, rumahnya, juga tujuan hidupnya.

Ia ... t.e.r.i.s.o.l.a.s.i  ...

.

Kisah semut yang sempat terisolasi dan lupa diri itu berakhir bahagia, tentu setelah ia dibebaskan menikmati kembali cahaya alami kesayangannya. Cahaya Matahari adalah kompas dan pemersatu mereka, sebagaimana cahaya Ilahi adalah kompas dan pemersatu kita semua. Para semut tahu, Matahari tak mungkin berpihak; terbukti dengan pancaran cahaya putihnya yang tidak membedakan Timur maupun Barat.

Dengan Matahari sebagai pemandumu, apa perlunya menegaskan siapa engkau dan siapa aku ?

Di mata Matahari, tak ada semut hitam dan semut merah.   Jadi mari  engkaudan aku sama-sama berbaris sebagai ‘kami’ dan berjamaah .

.

[caption id="attachment_213457" align="aligncenter" width="682" caption="Twilight pagi dan senja adalah salah satu fenomena alami yang memungkinkan manusia menyaksikan cahaya Matahari dalam wujud polarnya. Fenomena alami lainnya adalah pelangi, aurora, juga glory. (Foto karya Pungki Wiryawan Purboyo)"][/caption]

.

Betapa penting menetapkan penglihatan kita secara in-formation !

Agar kita bisa mengimbangi spektrum cahaya Ilahi yang selalu in-formation, lalu membentuk barisan yang juga in-formation. Kondisi in-formation itulah yang selalu memperbarui, sembari meneguhkan aku dan engkau sebagai kami yang bersatu. Dengan begitu, siapa tahu kita tak lagi memerlukan deklarasi pemersatu !  [*]

*

. *) Peranan Langit sebagai reflektor mengubah sunlight yang tunggal (singular) ..... menjadi skylight yang polaritas spektrumnya lengkap dan pluralistik. ^_^ **) Pengamatan terhadap semut Cataglyphis Noda di habitat alaminya sendiri, Tunisia. .

Catatan gak penting ;-) : 1. Ada pesan yang terbaca jika Anda menggerakkan kursor pada gambar. ;-) 2. Artikel ini dimuat di sebuah majalah internal untuk kalangan terbatas, edisi Oktober 2011, dengan tema menyambut Sumpah Pemuda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun