.
Namun kita tak perlu iri pada semut, meski mata lahir kita tak berpolariskop.
Kita mempunyai mata batin yang –jika dikembangkan- berpotensi untuk menjadi semacam polariskop. Kita bahkan mampu membaca spektrum cahaya dalam bentuk yang jauh lebih kaya. Bagi kita, bukan hanya Langit yang bisa mengubah cahaya Ilahi menjadi pesan warna-warni. Reflektor dan cermin itu tersebar di segala penjuru, entah dalam bentuk kemegahan gunung, keagungan samudera, keindahan bunga, kecerdikan semut, atau kelihaian virus. Reflektor itu juga terserak di antara buku, dalam perilaku para guru, dalam beningnya mata kanak-kanak, dalam ketakberdayaan si miskin, juga dalam kepedihan mereka yang tersisih.
.
Tak mungkin ada kesalahan dalam spektrum pelangi, karena kesalahan selalu terletak pada ketidaklengkapan polariskop kita sendiri. Jika mata kita terpaku pada keburukan dan kekecewaan, itu karena kita gagal menemukan keutuhan spektrumnya. Berpihak hanya pada biru dan kuning saja akan membuat kita kedodoran memahami jingga. Bahkan ketika mata semut –dalam percobaan-**) ditutup sebagian, atau ketika kepadanya dipaparkan spektrum cahaya buatan yang tak utuh, semut mengalami disorientasi.
Ia gagal mengenali saudaranya, rumahnya, juga tujuan hidupnya.
Ia ... t.e.r.i.s.o.l.a.s.i  ...
.
Kisah semut yang sempat terisolasi dan lupa diri itu berakhir bahagia, tentu setelah ia dibebaskan menikmati kembali cahaya alami kesayangannya. Cahaya Matahari adalah kompas dan pemersatu mereka, sebagaimana cahaya Ilahi adalah kompas dan pemersatu kita semua. Para semut tahu, Matahari tak mungkin berpihak; terbukti dengan pancaran cahaya putihnya yang tidak membedakan Timur maupun Barat.