Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menjaga Independensi KPU

24 Maret 2017   00:24 Diperbarui: 24 Maret 2017   16:01 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu (Sumber: Commonwealth Magazine).

Begitulah sejarah mengenai jumlah keanggotaan KPU. Lalu bagaimanakah konsep indepedensi dan non-partisan yang diberlakukan sejak tahun 2000?

Dasar hukum dari sifat independen atau mandiri dalam KPU adalah Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Mandiri disitu dapat dimaknai "bukan dari partai politik". 

Pemaknaan itu terlihat dalam: 1) perdebatan penyusunan konstitusi (original intens), 2) penafsiran teleologis, 3) penafsiran historis/sejarah hukum, 4) prinsip-prinsip internasional penyelenggara Pemilu, dan 5) kecenderungan Internasional tentang penyelenggara Pemilu

Pertama, pada perdebatan penyusunan konstitusi (original intens) Fraksi PDIP berpandangan bahwa Pemilu diselenggarakan oleh sebuah KPU yang bersifat nasional, permanen, mandiri dan anggota-anggotanya mempunyai kemampuan yang baik dan bukan anggota aktif partai politik peserta Pemilu (vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, hal. 552-553). Fraksi PKB berpandangan bahwa pelaksanaan Pemilu hanya bisa tercapai apabila penyelenggaraannya adalah badan yang mandiri dan tidak terikat pada kekuatan politik tertentu (vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, hal. 552-553). 

Kedua, secara teleologis, fungsi dan tujuan atau maksud dari frasa “mandiri” dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 adalah untuk melindungi independensi/imparsialitas penyelenggara Pemilu dari konflik kepentingan yang timbul dikemudian hari oleh partai politik (peserta Pemilu) dan lahir untuk menjaga agar dikemudian hari tidak muncul konflik kepentingan dalam diri penyelenggara Pemilu, antara memposisikan sebagai peserta Pemilu dan penyelenggara sebagaimana pengalaman Pemilu 1999. 

Partai politik sebagai penyelenggara Pemilu dikhawatirkan akan saling mengamankan kepentingan masing-masing sebagai peserta Pemilu. Anggota yang berasal dari partai tertentu akan memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan partainya. Atau justru sebaliknya, anggota KPU/Bawaslu yang berasal dari partai justru bersepakat dan bekerjasama untuk melaksanakan atau tidak suatu kebijakan yang menguntungkan mereka.

Ketiga, secara historis, syarat "bukan orang partai" mengemuka dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945, khususnya terkait dengan kelembagaan penyelenggara Pemilu. Mengemukanya ketentuan syarat "bukan orang partai" dilatarbelakangi oleh sejarah penyelenggaraan Pemilu 1999 yang hampir gagal karena sikap parsialitas penyelenggara Pemilu dari perwakilan partai politik. 

Komposisi keanggotaan KPU yang diisi orang-orang partai politik sebagaimana ditegaskan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu menjadi bumerang atas pelaksanaan Pemilu yang damai. Ketika itu, anggota KPU yang berasal dari partai politik gagal menetapkan hasil pemungutan suara tepat waktu. Mereka tidak bisa melepaskan kepentingan dan menempatkan diri sebagai anggota partai (peserta Pemilu) dan penyelenggara Pemilu yang mandiri. Ini yang mendorong lahirnya UU No. 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pasal 8 ayat (2) UU No. 4 tahun 2000 lalu menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang independen dan nonpartisan. 

Pengaturan berikutnya dalam Pemilu 2004, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu menegaskan bahwa anggota KPU tidak berasal dari partai politik. Pasal 18 huruf i UU No. 12 Tahun 2003 menyebutkan bahwa syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik.

Pengaturan dalam Pemilu berikutnya, ketentuan syarat KPU nonpartisan mengalami perkembangan. Pasal 11 huruf i UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu lebih rinci mengatur jangka waktu 5 tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik. Penyempurnaan tersebut merupakan kebutuhan untuk tetap menjaga imparsialitas anggota KPU. Pemisahan yang tegas antara kontestan, penyelenggara, dan pengawas bertujuan untuk menghindari conflict of interest.

Keempat, ditinjau dari prinsip-prinsip Internasional penyelenggara Pemilu, The International IDEA menetapkan 7 prinsip yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara Pemilu yaitu: independence, impartiality, integrity, transparency, efficiency, professionalism, dan service-mindedness. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun