Belakangan marak diberitakan mengenai RUU Penyelenggaraan Pemilu. RUU ini disusun untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu 2019 mendatang. Ini adalah pengalaman pertama penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara serentak.Â
Setidaknya ada sepuluh isu Pemilu yang menjadi fokus dalam pembahasan RUU Pemilu yaitu: 1) sistem Pemilu, 2) keterwakilan perempuan, 3) aksesibilitas, 4) pendaftaran pemilih, 5) kampanye, 6) dana kampanye, 7) teknologi kepemiluan, 8) penegakan hukum, 9) partisipasi masyakarat, dan 10) kelembagaan penyelenggara.
Kesepuluh isu tersebut masih dibahas dan dikaji oleh pegiat demokrasi dan Pemilu, pengamat Pemilu, akademisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga oleh Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sebagian di antaranya masih menjadi topik perdebatan di kalangan masyarakat.
Publik mengharap agar RUU Pemilu ini bisa disahkan pada awal atau setidaknya pertengahan tahun ini. Jika target itu tercapai, berarti penyelenggara, partai politik, para calon, dan pihak-pihak yang berkepentingan punya waktu kurang lebih 24 bulan untuk menghadapi Pemilu 2019. Inilah perkiraan waktu yang paling ideal untuk mempersiapkan Pemilu 2019.
Dalam rangka penyusunan UU Penyelenggaraan Pemilu, DPR lalu melakukan kunjungan ke Jerman dan Meksiko. Studi banding ke Jerman dilakukan untuk meninjau bagaimana penerapan e-voting di Jerman. Sedangkan kunjungan ke Meksiko bertujuan untuk mempelajari badan peradilan pemilu yang dinilai punya track record yang bagus.
Lalu apa "oleh-oleh" yang didapat Pansus Penyelenggaraan Pemilu sepulang dari Jerman?Â
Setidaknya ada lima poin penting dari hasil kunjungan kerja DPR ke Jerman dan Meksiko yang dipublikasikan di berbagai media. Lima poin tersebut antara lain:
- Masukan mengenai peradilan khusus Pemilu. Jerman sempat ingin membentuk peradilan khusus pemilu, namun urung dilakukan. DPR pun menjajaki wacana perlunya peradilan khusus Pemilu di Indonesia.
- Setelah melihat pelaksanaan Pemilu elektronik di Jerman, DPR berpendapat bahwa metode penghitungan elektronik (e-counting) dianggap lebih perlu untuk mempercepat proses rekapitulasi suara.
- Jerman menganut Sistem Pemilu Campuran. Sistem yang diberlakukan Jerman ini, akan sulit untuk diterapkan di Indonesia sebab Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer.
- Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Jerman saat ini adalah 5 persen. Inipun belum bisa diterapkan di Indonesia karena akan menyulitkan partai-partai kecil.
- Wacana untuk memasukkan Partai Politik menjadi anggota KPU. Ini dikarenakan KPU di Jerman anggotanya merupakan kombinasi dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat umum.
Saya akan fokus membahas mengenai poin yang kelima, yaitu mengenai wacana Pansus Penyelenggaraan Pemilu untuk memasukkan unsur partai politik ke dalam KPU. Bicara mengenai ini, berarti bicara mengenai independensi KPU. Dan bicara mengenai independensi KPU, kita harus pula berbicara mengenai sejarah KPU.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada saat ini merupakan KPU keempat yang dibentuk sejak era Reformasi 1998. Bagaimana susunan keanggotaan KPU tersebut?
- KPU pertama (1999-2001) dibentuk melalui Keppres No. 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik.Â
- KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM.Â
- KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No. 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota, dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti, dan birokrat.
- KPU keempat (2012-2016) dibentuk melalui Keppres No. 34/P/tahun 2012 yang berisikan 7 orang anggota, dari anggota KPU Provinsi, akademisi, dan peneliti.
Jika pembaca kritis melihat susunan anggota KPU, maka disitu ada perbedaan mengenai jumlah dan keanggotaan KPU. Ada perbedaan jumlah yang sangat mencolok antara KPU jilid pertama dan KPU jilid kedua. Perbedaan selanjutnya adalah keikutsertaan Parpol dalam susunan keanggotaan KPU yang hanya berlangsung satu periode.Â
Mengapa begitu? Untuk menjawab ini, kita harus menelusuri kronologis pembentukan KPU.