Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menjaga Independensi KPU

24 Maret 2017   00:24 Diperbarui: 24 Maret 2017   16:01 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu (Sumber: Commonwealth Magazine).

Pasca reformasi, Pemerintah mengesahkan satu paket UU sebagai langkah awal menuju negara yang lebih demokratis. Paket UU yang dimaksud adalah UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU No. 4 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPD (UU Susduk).

Konsekuensi diberlakukannya paket UU ini antara lain: lahirnya multi partai dan penyelenggaraan Pemilu oleh KPU (dengan anggota yang berasal dari wakil partai peserta Pemilu dan wakil Pemerintah). Itulah mengapa KPU pada saat itu beranggotakan 53 orang. Kelima puluh tiga anggota KPU itu terdiri dari 48 wakil partai  peserta pemilu dan 5 wakil  Pemerintah  yang bukan pejabat struktural.

Dalam perjalanannya, KPU yang beranggotakan 53 orang ini banyak diwarnai polemik, sorotan, dan kontroversial. Puncak dari semua polemik itu, hasil Pemilu 1999 terlambat diumumkan akibat sejumlah partai tidak mau menandatangani berita acara hasil Pemilu. 

Saat itu, 22 wakil partai setuju, 5 wakil Pemerintah setuju, 4 wakil partai abstain, dan sisanya menolak.  Sejumlah partai yang tidak mau menandatangani berita acara hasil Pemilu terdiri dari partai yang tidak memperoleh kursi di DPR, menuduh Pemilu diwarnai kecurangan, tidak demokratis, dan tidak  jurdil.

Pada saat yang bersamaan, dunia internasional justru memuji-muji hasil Pemilu 1999 yang dinilai bersih, transparan, dan demokratis. Oleh karena hasil pemilu itu tidak juga diumumkan, maka sebagai pertanggungjawaban moral, Wakil  Ketua KPU Prof. Dr. Harun Al-Rasyid mengundurkan diri. Presiden B.J. Habibie, sebagai penanggung jawab Pemilu, berinisiatif menerbitkan Keppres No. 92/1999 tentang Pengesahan Hasil Penghitungan Pemilu. Sebelumnya, Presiden meminta verifikasi hasil penghitungan pemilu kepada Mahkamah Agung. 

Kritik dan sorotan yang pernah dialamatkan ke KPU, kemudian ditanggapi MPR. Maka, pada Sidang MPR Tahun 1999, ditetapkanlah Ketetapan MPR IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Salah satu bunyi ketetapan MPR IV/MPR/199 itu, MPR menugasi Presiden untuk menyelenggarakan Pemilu selambat-lambatnya tahun 2004, serta membentuk badan penyelenggara Pemilu yang independen dan nonpartisan. Amanat MPR itu ditindaklanjuti DPR dan Pemerintah dengan mengamandemen pasal-pasal tentang penyelenggaraan Pemilu pada UU No. 3 Tahun 1999.

Pemilu 1999 pun usai, Pemerintah lalu mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2000 tentang Perubahan  UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid kemudian menerbitkan pula Keppres No. 166/M/Tahun 2000 tentang Peresmian Pemberhentian Keanggotaan KPU. Disinilah titik “nol kilometer” terbentuknya KPU yang independen dan nonpartisan. KPU baru kemudian lahir beranggotakan 11 orang dan dipilih melalui hasil pemilihan lewat uji kelaikan dan kepatutan DPR dari 22 calon anggota KPU yang diusulkan Pemerintah.

Siapa pun mengakui, pada saat itu KPU sukses menyelenggarakan Pemilu tahun 2004. Pemilu ini termasuk yang paling spektakuler karena untuk pertama kalinya rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dan dua putaran. Ini merupakan hal yang harus diapresiasi. 

Namun, tak disangka "angin topan" mendera kesuksesan KPU. Sejumlah anggota KPU lalu terpuruk karena kasus korupsi. Ketuanya, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin, M.A. berurusan dengan hukum, juga Drs. Mulyana W. Kusumah, Drs. Daan Dimara, dan  Dr. Rusadi Kanta Prawira. Sampai akhirnya, KPU yang aktif di kantor saat itu hanyalah Prof. Dr. Ramlan Surbakti, Valina Singka Subekti, dan Chusnul Mar’iyyah, Ph.D.

KPU jilid ketiga lalu dibentuk berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2007 dan Keppres No. 101/P/2007. Tidak ada perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, kecuali pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dimasukkan juga dalam Pemilu. Sejak saat itu istilah Pilkada lalu diganti dengan Pemilukada.

Lalu pada saat pembentukan KPU jilid keempat, sempat ada wacana bahwa penggantian anggota KPU dari generasi ke itu tidak boleh “pangkas habis”, tetapi paling tidak, menggunakan pola  berimbang. Untuk KPU provinsi dan kabupaten/kota yang jumlahnya anggotanya lima orang, dimunculkan wacana pola 3 – 2, maksudnya,  dalam  sebuah penggantian, tiga anggota merupakan anggota baru, dan dua orang merupakan anggota KPU lama yang harus dipertahankan. Wacana yang sempat diangkat pada saat-saat pembahasan RUU penyelenggara pemilu itu kemudian berhenti. Semua hasil keputusan dilimpahkan pada Tim Seleksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun