Indahnya Hidup Bertoleransi: Memaknai Kebebasan Beragama
Oleh : Salamun Ali Mafaz
Bermodal Toleransi
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, kekayaan beragama ini dilembagakan dalam bentuk doktrin Pancasila. Di mana negara mengakui dan menjunjung tinggi semua agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing pemeluk (meski pada akhirnya dibatasi hanya lima agama), dan menempatkan agama-agama tersebut sejajar di hadapan negara. Oleh sebab itu, di negara kita posisi agama setara, tidak ada yang tinggi dan rendah di hadapan yang lain. meskipun kenyataannya agama Islam dianut mayoritas penduduk di Indonesia, namun bukan berarti Islam menjadi agama yang berada pada posisi yang paling tinggi. Tak ada agama yang punya hak mengklaim dirinya lebih tinggi dari pada Tuhan, karena Tuhan merupakan yang tertinggi dan berada pada posisi yang tinggi dari semua agama dan kepercayaan yang ada. Untuk itu pemerintah membentuk sebuah Departemen Agama yang bertugas mengkordinir kehidupan beragama, tanpa harus mencampuri urusan masing-masing agama.
Walaupun demikian, rasanya sulit sekali mewujudkan sikap dan prilaku yang toleran dalam realitas yang sebenarnya. Dalam sebuah kehidupan yang plural seringkali terjadi benturan (clash) kepentingan, yang sering bermuara pada terjadinya konflik kepenting. Maka tidak mengherankan sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 eskalasi kekerasan, pertikaian, dan benturan antar kelompok masyarakat meningkat. Baik benturan yang berlatar belakang etnis, agama, maupun kepentingan politik. Melihat realita dilapangan seperti ini, berupa peristiwa yang berujung pada aksi anarki dan tindak kekerasan yang kerap kali dilakukan oleh antar kelompok masyarakat berarti semakin menyadarkan kita betapa lemahnya integritas sosial masyarakat kita. Sehingga sikap dan prilaku toleran yang mestinya dijadikan pedoman hidup masyarakat Indonesia seakan sirna.
Dalam hal ini ada beberapa kasus besar dalam konflik hubungan antaragama yang pernah terjadi di negara kita. Pertama, kasus Piagam Jakarta, dimana beberapa wilayah di Indonesia Timur mengancam akan melepaskan diri dari Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Kedua, peristiwa G30S PKI, di mana terjadi pembantaian antar sesama warga sipil yang melibatkan sentimen dan simbolisme agama. Ketiga, pergolakan pasca tumbangnya rezim Orde Baru di mana beberapa daerah seperti GAM di Aceh, RMS di Maluku, dan OPM di Papua kembali menghadirkan di muka umum isu separatisme dengan melibatkan sentimen dan isu agama, belum lagi pergolakan yang terjadi seperti di penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah (di Parung, Lombok, Kuningan, Majalengka, dll), penyerangan atau penutupan gereja (di Tangerang, Jakarta, Lombok, dll), serta tragedi berdarah yang terjadi di Ambon, Poso, dan lain-lain, yang mengakibatkan ratusan nyawa tak berdosa melayang begitu saja, yang pemicu utamanya kurangnya kerukunan hidup, toleransi sesama, antar umat beragama, serta kelompok-kelompok agama terhadap adat dan kebudayaan masyarakat asli (indigenous people) terutama masyarakat adat yang terpinggirkan.
Maka dengan melihat beberapa kasus di atas, maka selayaknyalah bagi kita sebagai pemeluk agama agar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, karena bagaimanapun juga toleransi beragama merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan kelompok memiliki potensi yang besar terjadinya konflik sosial, baik yang dilatarbelakangi oleh persoalan agama maupun persoalan budaya dan etnik. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia.
Kekerasan atas nama agama dan budaya merupakan fenomena sosial yang sering terjadi di Indonesia, karena mungkin masyarakat Indonesia sedang mencari jati diri seputar hubungan-hubungan sosial antar individu di dalam masyarakat, baik sesama agama tetapi berbeda paham, maupun berbeda agama dan kebudayaan. Maka ketika hubungan-hubungan itu tidak berjalan baik, maka yang terjadi adalah kekerasan demi kekerasan dengan dalih menegakkan agama yang benar atau paham agama yang dianggap benar.
Toleransi telah digantikan oleh aksi kekerasan demi memperjuangkan kebenaran yang diyakini, meskipun kebenaran yang relatif itulah yang dianggap sebagai perjuangan membela agama atau paham yang benar. Padahal kita semua sadar bahwa tidak ada yang bisa ”mendeklarasikan” dirinya paling benar dan menganggap selainnya salah, kebenaran hanyalah hak periogratif Tuhan semata, kita semua sebagai manusia berpotensi besar melakukan salah dan dosa. Jadi haram menganggap diri kita, agama kita, keyakinan serta kepercayaan kita yang paling benar.
Indikasi menghilangnya toleransi beragama ini dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, hilangnya sikap-sikap toleran sesama pemeluk agama. Misalnya dikalangan umat Islam sendiri tidak terjadi hubungan dialogis dan harmonis, justru yang paling menonjol adanya kecenderungan memaksakan kebenaran agama maupun keyakinan yang dianggap sesuai dengan ”shalafus sholih”, bahkan sangat disayangkan dengan cara-cara kekerasan. Oleh karenanya dengan terciptanya situasi seperti ini, maka bermunculanlah aliran-aliran baru di dalam Islam itu sendiri, mungkin saja sebagai imbas atas ketidaksesuaian dengan adanya sikap apriori seperti itu.
Kedua, hilangnya toleransi di kalangan antarumat beragama. Hal ini dapat dilihat dari bebrapa kasus konflik antaragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, penutupan gereja-gereja di bebrapa daerah denga dalih bahwa gereja-gereja yang ditutup itu adalah ilegal, dalam konteks lain misalnya sulitnya pendirian masjid-masjid di daerah yang mayoritas non-muslim. Sikap-sikap seperti inilah yang menghancurkan bangunan toleransi di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Persoalan yang ”ruwed” yang sejak dulu hingga sekarang diantara umat Islam dan Kristen selalu terjadi konflik antaragama di Indonesia maupun di belahan dunia yang melibatkan dua komunitas agama ini.