Mohon tunggu...
Mamat AS
Mamat AS Mohon Tunggu... Guru - Suka bertani

biar ganting asal kada pagat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dangdut

23 Juni 2024   20:29 Diperbarui: 23 Juni 2024   21:00 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          "Sabaar, sayang. Mhhhhh...." Cibuk menghela napas panjang. Wajahnya diarahkan ke Dangdut yang sejak tadi duduk tidak jauh disampingnya, "Anakku. Ibu dan ayahmu tidak asal memberi nama Dangdut padamu. Kata Dangdut itu penuh makna yang dalam, nak" perlahan Cibuk memulai pembicaraan. Matanya menatap wajah Dangdut yang semisal landscape kebun yang buahnya masih mangkau dan hijau. Begitu segar tak bosan-bosan dipandang. Sejuk di bawah teduhnya, "Kakak-kakakmu Jesy, Rolly, Roky, mereka juga memiliki nama yang bernada musik."

          "Tapi, buk! Nama-nama mereka masih dapat mewakili zamannya di masa sekarang. Mbak Jesy namanya depan banget didengar. Mas Rolly, berasa Eropa Timur. Mas Roky, bau-bau Amrik, gitu! Lah, saya?!" kerongkongan Dangdut kayak tercekat saat akan mengucap namanya sendiri. Tangga nada suaranya tersendat fals. Matanya meredup. Wajah tertunduk lesu bernada kecewa.

          "Dangdut? Maksudmu, nak?" Cibuk menangkap ucapan Dangdut yang terputus. Dan tersenyum dalam simpul. Cibuk mengelus rambut anaknya itu ditaburi rasa sayang yang manis, "Menurut kamu nama Dangdut itu jelek? Sejak kapan sebuah nama yang diberikan orang tua pada anaknya jelek, nak? Apakah arti sebuah nama? Itu adalah pertanyaan yang pertama hadir di benak ibu dan ayah, saat akan memberimu nama." Ucap Cibuk lirih.

          Dangdut tampak serius. Wajahnya datar. Hanya diam. Ia berusaha menahan air mukanya tetap tenang. Seolah tak ada yang penting, yang keluar dari ucapan Cibuk. Namun rasa ingin tahunya begitu legit. Rasa lapar siangnya juga menggerogoti perutnya. Rasa kantuk tak kalah hebat menyerang matanya. Sementara mbok Lik masih tekun dan sabar menunggu dua mahluk sedarah ini bersedia menikmati masakannya.

          "Anakku." lagi-lagi  Cibuk berkata manis. Hati Dangdut meleleh. Lembut sekali suara itu mendarat di jantungnya. Menukik tajam membenam ke ulu nurani. Mencairkan empedunya yang beku. Seakan hendak melenakan Dangdut yang memang sudah kelelahan. Keletihan hati yang tak pernah tuntas.

          "Tahukah, engkau nak. Jika semua yang terjadi, kemudian tertulis ini, dari dulu hingga nanti, adalah suatu yang kadang tidak dapat kita hindari. Itu semua sudah kehendak yang mengatur semesta ini. Mereka berputar dan beredar pada masing-masing tempat...." Kalimat cibuk bernas satu-persatu berlompatan dari bibirnya. 

          Dangdut menyimak dan meletakkan kepalanya di atas meja makan, yang sama sekali hidangannya belum tersentuh. Dingin airconditioner dapur mengademkan penasarannya yang resah. Rambut yang lurus sedikit ikal tergerai memepe di atas meja. Matanya sedikit redup. Mbok Lik bengong manis di seberang sisi lain meja.

          "Dangdut adalah nama pilihan hati ayah ibumu. Nama itu hadir ketika kesepian hati ayah ibu meraung-raung. Kelaparan dalam nada-nada yang mengalun. Kehausan di tandusnya panggung teater Ilahiah. Dan tebalnya skenario birama yang dilagukan." Jelas ibu, "Kemudian datang dangdut yang menari-nari, berjoget-joget, berdendang di teras, di tingkap-tingkap jendela jiwa kami. Menyejukkan. Mempersatukan kami yang saat itu nyaris terpecah bahtera. Yang telah ayah ibu labuh di tujuh samudra kehidupan...." Papar ibu sambil melirik ke arah Dangdut yang menggeletak kepalanya di meja. Tanpa sadar Dangdut terlelap. Telah di rangkul mimpi indah buai suara Cibuk. Damai dan sejuk tampaknya ia tidur. Tenang sekali.

          Mbok Lik memberi isyarat pada Cibuk dengan mengacungkan telunjuknya di depan bibir yang terkatup, agar lebih perlahan, lalu kedua tapak tangannya ditangkup. Dan punggung tangan itu diletakkan di sisi pipinya, isyarat Dangdut telah lelap tertidur.

          Cibuk melemahkan suaranya. Berbisik. Hampir tak terdengar oleh mbok Lik. Didekatkannya bibir di telinga Dangdut yang sebagian tertutup rambut hitam dan wangi keringat bercampur aroma sabun mandi_sambil mencium pipi Dangdut_Cibuk memang suka bau keringat anaknya itu. Merindukan katanya.

          "Dan, nak." Lanjutnya pelan, "Perlu kau tahu. Sejak kehadirannmu, rumah ini terasa sejuk. Dangdut yang mempersatukan dan pula menentramkan!" Bisiknya. Perlahan setetes air di ujung hidung jatuh menimpa pipi anaknya.

2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun