"Ibumu ke tetangga sebelah. Ada yang mau ditengok. Tadi pamit, katanya sih sebentar." Sahutnya.
     "Sebentar ya mbok? Bisa dapat satu putaran pilpres, sebentarnya Cibuk, mbok!" kritik tidak langsung Dangdut buat Cibuknya.
     "Baru pulang sekolah Dut?" mbok Lik membelokkan pembicaraan, "Tadi yang jemputantarpulang kamu siapa?"
     "Kojek." Jawab Dangdut singkat. Hatinya masih getun karena rencananya gagal.
     "Sudah. Ganti pakaianmu. Terus salat juhur. Kalau sudah selesai kesini. Mbok sudah siapkan makan siang mu. Hari ini mbok yang masak."
     "Cibuk ndak masak, mbok?!"
     "Iya. Ibumu pengin banget mbok yang masak, Dut.  Katanya kangen masakan mbok."
     "Cibuk selalu begitu. Kalau ada yang datang, pasti dah disuruh masak. Dalilnya kangen masakannya. Cibuknya sendiri, minggat ke tempat tetangga. Biasa, ngider gosip anyar keliling kompleks." Cibirnya.
     "Sudahlah. Jangan pedulikan polah ibumu. Memang begitu dia. Kayak pakai baterai alkalin, ndak ada habisnya." Sambil tersimpul senyum. Ia sudah paham benar kelakuan adik sepupunya itu, sejak masih gadis. Mbok Lik merapikan meja makan. Hidangan sudah siap. Dangdut bergegas meninggalkan dapur. Perutnya mulai dangdutan.
     Tidak lama. Kepala Cibuk nyembul di balik pintu dapur. Cibuk pulang lewat pintu belakang pagar tembok. Tembok itu dirancang khusus untuk akses menenangga setiap hari. Ternyata sudah akut kelakuan Cibuk. Di tangannya membawa bungkusan.
     "Dangdut sudah pulang barusan. Lagi ganti baju dan salat juhur." Ujar mbok Lik