Nota protes pun dilayangkan ke keluarga H. Dasuki. Isinya Darmin tidak boleh dekat-dekat dengan Fitri sampai ia lulus SMP. Protes ini pun diterima oleh keluarga H. Dasuki. Memang seharusnya begitu dalam perkawinan gantung sampai mereka sama-sama dewasa secara fisik dan psikis, pikir H. Dasuki. Tapi lain dengan pikiran Darmin. Ia sangat keberatan. Ia sangat kecewa. Di usianya yang sudah baligh, birahinya seringkali meluap-luap. Namun ia tidak berani mengungkapkan keberatannya kepada orang tuanya. Ia hanya ngedumel sendiri. "Istri sendiri kok gak boleh ditowel-towel."
Selama satu minggu perjanjian itu berjalan dengan baik. Darmin tidak berani mengganggu Fitri. Memasuki mingu kedua, Darmin mulai tidak tahan. Ketika aku pulang mengaji, Kang Darmin mengantarku pulang. Seperti biasa ia tangannya meraba-raba kesana kemari. Meski aku tepis tapi ia tetap bandel.Â
Bahkan ketika di tengah kebun kosong, Ia memepetku ke sebuah pohon besar dan mulutnya dengan buas ditempelkan ke mulutku dan melumatnya. Tentu aku sangat kaget dan marah. Sekuat tenaga aku dorong Kang Darmin sampai Ia terjengkang ke belakang. Aku pun lari terbirit-birit sambil tangan kiri menyincing sarungku dan tangan kananku memenang juz Amma.
Sampai di rumah aku menangis sekuat-kuatnya. Ibuku sangat kaget dan bertanya.
"Ada apa Fit? Ada yang nakalin?"
Aku hanya menangis dan memeluk Ibuku.
"Kang Darmin Bu, Kang Darmin."
"Kenapa Darmin? Dia berbuat nakal?"
Aku mengangguk.
Suara gigi Ibuku berderit menandakan Ia sangat marah. Ibu mendatangi Ayah sambil marah-marah. Untuk kesekian kalinya Ibu meminta tanggung jawab Ayah.
"Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Putuskan ikatan kawin gantung ini!"