Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kawin Gantung

12 November 2018   13:56 Diperbarui: 14 November 2018   10:18 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malamnya ada hiburan film layar tancap. Masyarakat sekitar berdatangan mengucapkan selamat dan menikmati hiburan kampung itu sambil menggelar tikar bermepet-mepetan. Hiburan seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh muda-mudi untuk menikmati kebersamaan dengan pacar sambil bercumbu, saling rangkul, saling pegangan tangan di suasana lapangan yang gelap.

Acara perkawinan dengan hiburannya telah usai. Aku tetap tinggal di rumah kedua orang tuaku. Sementara Kang Darmin pulang ke rumah kedua orang tuanya. Begitulah memang perkawinan gantung dilakukan. Pengantin tidak boleh campur terlebih dahulu seperti layaknya pengantin orang dewasa sampai mereka benar-benar sudah siap.

Hari-hariku kujalani seperti layaknya anak-anak seusiaku. Pagi hari aku berangkat ke sekolah. Malamnya aku mengaji di Ust. Ibrahim tak jauh dari rumahku. Terkadang Kang Darmin mengantarku ke sekolah sekalian ia juga berangkat ke sekolah. Malamnya kadang ia menjemputku selepas aku mengaji. Masyarakat maklum, kami sudah kawin.

Dalam remang malam perjalanan menuju rumah, kadang Kang Darmin menggandengku. Tangannya melingkar di pinggangku. Ia meraba-raba pantatku yang baru tumbuh. Aku tepis. Aku merasa risih. Tangannya pindah menggerayang ke pundakku terus jatuh ke dadaku yang masih belum tumbuh. Aku makin risih. Kutepis juga tangannya. Ia semakin bernafsu. Aku cuek, tak peduli. Untung rumahku dekat, aku merasa tertolong ketika sudah sampai rumah. Aku merasa bebas dari sergapan srigala itu.

Ketika sudah sampai rumah, aku ceritakan pengalaman yang terjadi kepada kedua orang tuaku. Ayahku malah tertawa-tawa saja. Aneh, pikirku waktu itu. Anak "gadis"nya diperlakukan tidak senonoh kok malah tertawa-tawa.

Ibuku yang protes.
"Tuh lihat, kelakuan Darmin. Apa Ayah bisa mencegahnya? Walau bagaimana Darmin merasa sudah sah menjadi suami Fitri. Jadi ia seakan boleh melakukan perbuatan layaknya suami istri." Kata Ibu menyalahkan Ayah.

Ayah hanya diam saja. Ya wajarlah anak zaman sekarang berpacaran pegang-pegang. Pikir Ayahnya. Apalagi mereka sudah menikah.  

"Pokoknya Ibu tidak mau Fitri bunting duluan sebelum lulus SMP." Kata Ibu terlihat matanya menyala-nyala. Baru kali ini aku melihat Ibu marah seperti itu. Biasanya Ibu diam dan menurut saja apa yang dikatakan Ayah. Aku lihat Ayah juga kaget dengan sikap tegas Ibu untuk persoalan ini.

"Tenang-tenang Bu, persoalan ini bisa kita bicarakan baik-baik dengan keluarga H. Dasuki." Kata Ayah sambil matanya berputar-putar seperti sedang mencari ide. "Besok kita ke rumah H. Dasuki, sekalian silaurahim," kata Ayah ditenang-tenangkan.

"Pokoknya kita harus protes!" kata Ibu tegas.

"Iya, kita protes," kata Ayah menuruti kata-kata Ibu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun