Waktu itu aku masih berumur sekitar tujuh tahun ketika Ayahku mengawinkanku dengan Kang Darmin. Meskipun masih sangat kecil, aku ingat betul kejadian itu. Peristiwa itu begitu melekat di pikiranku.
Pagi itu, sekitar pukul delapan, aku didandanin layaknya seorang perempuan dewasa yang akan kawin. Wajahku dimake up sedemikian rupa. Bibirku dipoles lipstik merah menyala.Â
Tubuhku dipakaikan kebaya warna putih dengan samping batik warna coklat. Kepalaku dipakaikan kerudung. Untaian melati digantungkan di telingaku. Sekilas aku seperti pengantin sungguhan. Kata orang-orang aku aku terlihat cantik waktu itu. Kalau ada kesempatan, Ingin sekali aku memamerkan fotoku waktu itu. Pasti terlihat sangat lucu. Â Â
Keluarga pihak laki-laki sudah berdatangan. Tidak banyak, memang. Hanya kedua orang tuanya, adik-adiknya dan paman bibinya. Â Â
Aku duduk di lantai, lesehan, bersejejeran dengan Kang Darmin calon suamiku. Kang Darmin ini anaknya H. Dasuki pemilik hektaran tanah di kampung kami. Mereka adalah salah satu keluarga kaya di kampung kami. Mungkin yang paling kaya diantara orang-orang kaya yang ada di kampung kami. Seperti telah menjadi kebiasan dan bahkan menjadi budaya orang-orang kampung kami, di Carenang Serang-Banten, menikahkan anaknya sejak mereka masih sangat kecil, bocah. Mereka seakan tidak rela hartanya yang melimpah itu jatuh ke tangan orang lain. Mereka ingin punya menantu atau besan yang juga orang kaya.
Kang Darmin umurnya sekitar 15 tahun ketika itu. Ia masih sekolah SMP. Aku ingat betul ketika Ia mengantarku ke sekolahku dengan sepedanya. Kebetulan letak sekolahku searah dengan sekolahannya. Ya akhirnya aku sering numpang bonceng di sepeda ontelnya setelah kami menikah. Â Â
Keluargaku juga termasuk keluarga berada. Orang tuaku punya beberapa hektar sawah dan beberapa petak kebun. Mana mungkin H. Dasuki mau menjadikan aku menantunya kalau orang tuaku miskin. Pikirku. Tapi kalau dibandingkan dengan kekayaan keluarga H. Dasuki kekayaan orang tuaku masih di bawahnya. Â
Suatu hari Ayahku memanggilku.
"Fitri, Anakku, H. Dasuki meminta besanan dengan keluarga kita. Inyaallah hari minggu depan kawinnya," katanya tanpa meminta persetujuanku dulu dan seperti tidak ada beban. Mereka menganggap aku masih piyik, bocah. Tidak perlu diminta pendapatnya. Â
"Aku hanya diam saja sambil main masak-masakkan dengan temanku,"
Di sampingku Ibu ikut mendengarkan perkataan Ayah.
"Apa tidak sebaiknya tunggu Fitri selesai sekolah dulu Yah. Ya minimal lulus MTs. Ini kan Putri baru kelas dua SD."
Ibuku sedikit memprotes permintaan Ayahku yang seakan menerima begitu saja keinginan keluarga H. Dasuki. Â
"Ibu, ini hanya kawin gantung Bu. Setelah acara perkawinan ini, anak kita masih bersama kita dan anak mereka masih dengan mereka. Mereka belum boleh campur," kata Ayah memberikan penjelasan.
"Apa Ayah bisa menjamin Jang Darmin yang sudah sekoleh SMP itu tahan tidak berhubungan badan dengan Fitri?" tanya Ibu mengkhawatirkanku.
"Iya kita jaga bersama-sama, Fitri, anak kita," kata Ayah mengelak halus dengan menggunakan kata "Kita". Seakan beban akan ditanggung bersama.
"Lagian Bu, kapan lagi kita bisa mendapatkan mantu yang seperti Jang Darmin anak H. Dasuki yang kaya dan terpandang di kampung kita itu. Ini juga untuk kebahagiaan anak kita juga." Kata Ayah memberikan argumentasi.
"Bukankah kekayaan kita sudah lebih dari cukup hanya untuk menghidupi dua anak kita?" kata Ibu masih tetap tidak setuju dengan rencana perkawinanku ini. Â
"Percayaah Bu. Ini semua untuk kebaikan Fitri, Anak kita." Ayah melanjutkan dengan memberi segenggam keyakinan kepada Istrinya. Â Â Â
Akhirnya Ibu pun diam, tidak memberikan komentar lagi.
***
Pagi itu kedua keluarga sudah berkumpul. Aku sudah duduk berdampingan dengan Kang Darmin. Ayah Ibuku duduk dekatku. H. Dasuki dan istrinya duduk di samping Kang Darmin. Kiai sudah datang, siap mengawinkan kami. Â Â Â
Perkawinan pun dilaksanakan. Kang Darmin mengucapkan akad nikah seperti dalam pernikahan lazimnya. Hanya saja, dalam perkawinan ini tidak ada buku nikah. Yang ada hanya catatan dari Kiai bahwa kami sudah menikah. Perkawinan pun usai.
Malamnya ada hiburan film layar tancap. Masyarakat sekitar berdatangan mengucapkan selamat dan menikmati hiburan kampung itu sambil menggelar tikar bermepet-mepetan. Hiburan seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh muda-mudi untuk menikmati kebersamaan dengan pacar sambil bercumbu, saling rangkul, saling pegangan tangan di suasana lapangan yang gelap.
Acara perkawinan dengan hiburannya telah usai. Aku tetap tinggal di rumah kedua orang tuaku. Sementara Kang Darmin pulang ke rumah kedua orang tuanya. Begitulah memang perkawinan gantung dilakukan. Pengantin tidak boleh campur terlebih dahulu seperti layaknya pengantin orang dewasa sampai mereka benar-benar sudah siap.
Hari-hariku kujalani seperti layaknya anak-anak seusiaku. Pagi hari aku berangkat ke sekolah. Malamnya aku mengaji di Ust. Ibrahim tak jauh dari rumahku. Terkadang Kang Darmin mengantarku ke sekolah sekalian ia juga berangkat ke sekolah. Malamnya kadang ia menjemputku selepas aku mengaji. Masyarakat maklum, kami sudah kawin.
Dalam remang malam perjalanan menuju rumah, kadang Kang Darmin menggandengku. Tangannya melingkar di pinggangku. Ia meraba-raba pantatku yang baru tumbuh. Aku tepis. Aku merasa risih. Tangannya pindah menggerayang ke pundakku terus jatuh ke dadaku yang masih belum tumbuh. Aku makin risih. Kutepis juga tangannya. Ia semakin bernafsu. Aku cuek, tak peduli. Untung rumahku dekat, aku merasa tertolong ketika sudah sampai rumah. Aku merasa bebas dari sergapan srigala itu.
Ketika sudah sampai rumah, aku ceritakan pengalaman yang terjadi kepada kedua orang tuaku. Ayahku malah tertawa-tawa saja. Aneh, pikirku waktu itu. Anak "gadis"nya diperlakukan tidak senonoh kok malah tertawa-tawa.
Ibuku yang protes.
"Tuh lihat, kelakuan Darmin. Apa Ayah bisa mencegahnya? Walau bagaimana Darmin merasa sudah sah menjadi suami Fitri. Jadi ia seakan boleh melakukan perbuatan layaknya suami istri." Kata Ibu menyalahkan Ayah.
Ayah hanya diam saja. Ya wajarlah anak zaman sekarang berpacaran pegang-pegang. Pikir Ayahnya. Apalagi mereka sudah menikah. Â
"Pokoknya Ibu tidak mau Fitri bunting duluan sebelum lulus SMP." Kata Ibu terlihat matanya menyala-nyala. Baru kali ini aku melihat Ibu marah seperti itu. Biasanya Ibu diam dan menurut saja apa yang dikatakan Ayah. Aku lihat Ayah juga kaget dengan sikap tegas Ibu untuk persoalan ini.
"Tenang-tenang Bu, persoalan ini bisa kita bicarakan baik-baik dengan keluarga H. Dasuki." Kata Ayah sambil matanya berputar-putar seperti sedang mencari ide. "Besok kita ke rumah H. Dasuki, sekalian silaurahim," kata Ayah ditenang-tenangkan.
"Pokoknya kita harus protes!" kata Ibu tegas.
"Iya, kita protes," kata Ayah menuruti kata-kata Ibu. Â
Nota protes pun dilayangkan ke keluarga H. Dasuki. Isinya Darmin tidak boleh dekat-dekat dengan Fitri sampai ia lulus SMP. Protes ini pun diterima oleh keluarga H. Dasuki. Memang seharusnya begitu dalam perkawinan gantung sampai mereka sama-sama dewasa secara fisik dan psikis, pikir H. Dasuki. Tapi lain dengan pikiran Darmin. Ia sangat keberatan. Ia sangat kecewa. Di usianya yang sudah baligh, birahinya seringkali meluap-luap. Namun ia tidak berani mengungkapkan keberatannya kepada orang tuanya. Ia hanya ngedumel sendiri. "Istri sendiri kok gak boleh ditowel-towel."
Selama satu minggu perjanjian itu berjalan dengan baik. Darmin tidak berani mengganggu Fitri. Memasuki mingu kedua, Darmin mulai tidak tahan. Ketika aku pulang mengaji, Kang Darmin mengantarku pulang. Seperti biasa ia tangannya meraba-raba kesana kemari. Meski aku tepis tapi ia tetap bandel.Â
Bahkan ketika di tengah kebun kosong, Ia memepetku ke sebuah pohon besar dan mulutnya dengan buas ditempelkan ke mulutku dan melumatnya. Tentu aku sangat kaget dan marah. Sekuat tenaga aku dorong Kang Darmin sampai Ia terjengkang ke belakang. Aku pun lari terbirit-birit sambil tangan kiri menyincing sarungku dan tangan kananku memenang juz Amma.
Sampai di rumah aku menangis sekuat-kuatnya. Ibuku sangat kaget dan bertanya.
"Ada apa Fit? Ada yang nakalin?"
Aku hanya menangis dan memeluk Ibuku.
"Kang Darmin Bu, Kang Darmin."
"Kenapa Darmin? Dia berbuat nakal?"
Aku mengangguk.
Suara gigi Ibuku berderit menandakan Ia sangat marah. Ibu mendatangi Ayah sambil marah-marah. Untuk kesekian kalinya Ibu meminta tanggung jawab Ayah.
"Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Putuskan ikatan kawin gantung ini!"
"Mbok ya Sabar Bu. Kita sekali lagi minta Darmin untuk bersabar sedikit."
"Tidak! Cukup sudah sampai di sini. Besok kita datang ke rumah H. Dasuki dan putuskan tali kawin gantung ini." Sekali lagi Ibu meminta. Suaranya keras.
Ayah tahu sifat Ibu. Ibu jarang marah. Tapi kalau sudah marah Ia seperti macan jantan kelaparan dan Ayah hanya bisa diam terkesima.
"Baik Bu. Besok ke rumah H. Dasuki kita bicarakan baik-baik."
"Tidak! Kita putuskan saja ikatan ini."
"Gak bisa begitu Bu," kata Ayah mencoba mempertahankan.
"Mengapa tidak bisa? Pasti kita bisa," kata Ibu penuh semangat.
"Baiklah kalau itu keputusan Ibu. Besok kita putuskan ikatan kawin gantung ini," kata Ayah dengan berat hati.
Hatiku tak terasa bersorak sorai, gembira penuh kemenangan. Meski pun aku masih sangat kecil tapi aku sudah punya cita-cita ingin sekolah yang tinggi. Ingin sekolah sampai jadi sarjana bahkan sampai jadi doktor dan menjadi Menteri seperti Ibu Sri Mulyani yang aku sering lihat di TV. Â
Paginya Ayah dan Ibu mendatangi rumah H. Dasuki dan menyampaikan maksudnya yaitu memutuskan tali perkawinan gantung. Ayah menceritakan kejadian-kejadian yang dialami oleh aku dan cita-citaku yang ingin sekolah tinggi.
H. Dasuki awalnya kaget. Ia tidak menyangka kejadiannya akan separah ini. Ia atas nama keluarga juga sangat malu dengan perbuatan Darmin, anaknya. Akhirnya, Ia sekeluarga menerima keputusan untuk tidak melanjutkan kawin gantung anaknya dengan Fitri. Tentu tidak dengan Darmin, Ia sangat kecewa dan patah hati atas keputusan itu. Â
Waktu terus berjalan. Aku terus sekolah mengejar cita-citaku. Sementara kang Darmin selepas lulus SMP Ia menikah dengan teman sekolahnya. Ia seperti kebanyakan anak-anak di kampungku yang menikah lepas SD atau paling banter lulus SMP. Bahkan orang yang mampu secara ekonomi seperti keluarga Kang Darmin mereka tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
Sangat disayangkan. Sementara orang yang tidak mampu secara ekonomi ingin sekolah setinggi-tingginya sementara orang kaya memilih berhenti sekolah.
Jakarta, 12 November 2018 Â Â
  *) Cerpen ini terinspirasi dan bersumber dari hasil penelitian Rumah Kitab "Kesaksian Pengantin Bocah".         Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI