Mohon tunggu...
Man Suparman
Man Suparman Mohon Tunggu... w -

Man Suparman . Email : mansuparman1959@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jaja Si Duit Ijo

16 Juni 2017   09:48 Diperbarui: 16 Juni 2017   10:08 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BEBERAPA batang pohon kayu Ki Sapiyang telah kutebang dibiarkan tergeletak di belakang rumah, karena kesulitanmencari tukang nampol suluh  (membilah kayu bakar). Maklum,sedang musim turun ke sawah, warga kampung yang biasa kuli membilah kayu bakar, sibuk kulimenggarap sawah.

Pada saat kesulitan mencari pemecahkayu bakar, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku bernama Jaja, menawarkanjasa untuk memecah kayu bakar. Tetapi, aku merasa ragu akankemampuannya, karena gerak-geriknya sangat mencurigakan. Bicaranya agak gagap.Kadang-kadang tertawa cengengesan,”Jangan-jangan orang ini, kurang waras...”pikirku.

 “Jadi namamu Jaja ?”

 “Iyah, saya sudah bilang ‘kan,nama saya Jaja,”

 “Ya, ya...asalmu dari mana ?”

 “Dari Kampung Singadita, kokbapak ini banyak tanya, kalau tidak percaya silakan selidiki ke KampungSingadita, nama saya sangat populer seperti bintang film,” ujar Jaja yangperawakannya kecil dan pendek itu.

 “Saya perlu tahu, kamu kanorang yang baru saya kenal,”

 “Oh jadi bapak menyelidik saya?”

 “Maksudku bukan itu,  tapi‘kan perlu tahu siapa kamu sebenarnya ?”

 “Pokoknya jangan macam-macamyah, batangan kayu milik bapak akan saya pecahsemuanya. Pokoknya bapak tahu beres. Oke ...?” seraya menatapku lalu iamengeluarkan sebilah kapak alat membilahkayu bakar dari balik celananya.

 Wah, gawat. Pikirku. Orang inipakai mengancam segala dan bicaranya belagu, oke oke segala. Ya, dari padamemikirkan tentang dia dengan sikapnya yang aneh-aneh, dan aku tidak mauberdebat, akhirnya ia kupersilakan untuk membilahkayu untuk dijadikan kayu bakar.

 Sejak aku kembali ke desa,untuk keperluan memasak lebih banyak menggunakan kayu bakar, ketimbangmenggunakan gas elpiji atau kompor minyak tanah karena minyak tanah sudah tidakdijual lagi di warung-warung, setelah minyak tanah dikonvensi ke gas elpiji. Dalamsituasi sulit seperti sekarang ini, apa salahnya belajar hemat memasakmenggunakan kayu bakar, apalagi bagi warga masyarakat yangtinggal di desa danmemiliki sedikit lahan pepohonan tidak sulit untuk memperoleh kayu bakar.

 Keuntungan lain, memasak nasidengan menggunakan kayu bakar rasanya dan aromanya sangat enak lezat dan harum.Walaupun dimakannya hanya dengan ikan asin, sambal terasi dan lalap. Hmmm,rasanya mantap. Lain lagi dengan nasi yang dimasak menggunakan kompor gaselpiji atau berbeda dengan rasa aroma nasi yang dimasak menggunakan gas elpijiatau mejikom yang kononbisa memicu diabet.

 Jaja, setelah dipersilahkan membilah kayu,bibirnya yang agak dewer komat-kamit seperti tengah membaca mantra.Kemudian  mengayunkan kapaknya yang tajam mengkilap.

 Pada saat Jaja  tengahbersemangat membilah kayu, tiba-tiba istriku dari dalam rumah memanggilku.Akupun segera menemuinya.

 “Siapa pak yang sedang membilah kayu itu ?” tanya istriku terheran-heran sambilmenatapku dengan tajam.

“Memangnya kenapa bu ?”

 “Orang itu, kayanya kurangwaras, apa tidak apa-apa pak ?”

 “Ibu merasa takut ?”

 “Ya, tentu saja ibu merasatakut, bisa saja kalau orang tidak waras bertindak macam-macam kepada kita !”

 “Tapi kelihatannya orangnyabaik, walaupun kelihatannya agak kurang waras,”

 “Tetapi bapak harus hati-hatijangan terlalu dekat,” saran istriku agak sewot,”Menungguinya dari jauh saja yapak..”

 “Iyah,” jawabku singkat.

 Akupun segera meninggalkanistriku sambil membawa makanan dan air minum yang akan diberikan kepada Jaja,barangkali ia haus dan lapar. Betapa kagetnya aku, kayu yang dibilah oleh Jaja sudah selesaisemuanya. Jaja, memang luar biasa, kayu sebanyak itu dapat diselesaikannyadengan cepat bagaikan kesyetanan.

 “Sudah beres pak, mana upahnya?”

 “Tenang dulu, mau kemana, ayominum dulu dan ini ada sedikit makanan buat kamu,”

 Tanpa basa-basi, ia meminum airteh yang kusodorkan dan menyantap makanan dengan lahapnya sampai habis tidaktersisa sedikit pun. Ia kelihatannya memang benar-benar haus dam lapar.

 “Tanks yah, atas makanan danminumannya, sekarang mana upahnya ?”

Lagi-lagi bicaranya belagu lagi pakaitanks-tanks segala.

 Kurogoh saku celanaku dankusodorkan selembar uang kertas lima puluh ribu rupiah, namun tiba-tiba iamenolaknya dengan keras.

 “Ti...ti...tiidak mau...sa..saya ...titi...tidak mauuu... uang ituuu.... !”

 “Apa masih kurang ?” tanyakusambil kusodorkan uang selembar uang sepuluh ribu rupiah, sehingga jumlahnyajadi enam puluh ribu rupiah.

 “Bu... bu... bukan ..masihkurang,  ta ...tapiii... bu...  bukan uang yang itu,!”

 “Uang yang mana ?”

 “Duit ijo dua, pokoknya duitijo duaaaa....”

 “Duit ijo, maksudnya duit hijau?”

 “Iyah dudu..duit ijo dua......”

 Aku masih tetap kebingungan,apa yang dimaksudkan dengan duit ijo. Pada saat aku kebingghungan, jaja dengansecepat kilat menyambar uang kertas  dua puluh ribu rupiah yang adaditanganku. Aku pun tersentak kaget,”Nah ini duit ijooooo...” ujarnya sambilcengengesesan.

Aku baru menyadari yang dimaksud duitijo oleh Jjaja, adalah uang berwarna hijau, yaitu uang kertas lembaran duapuluh ribu rupiah.

Kemudian aku menambahnya lagi dualembar uang pecahan lima ribuan, namun ia menolak hanya mau menerima dua lembarsaja uang kertas dua puluh ribuan.

Sedangkan uang yang lima puluh ribu dan dua lembar uang limaribuan oleh Jaja dikembalikan lagi kepadaku. Ia pun dengan rasa gembirameninggalkanku sambil  menari-nari dan bernyanyi-nyanyi  “Jaja duitijo..Jaja... duit ijo..Jaja duit ijo.....” ucapnya tiada henti sambil terusberlari dan mengangkat kapaknya yang tajam mengkilap.

 Sejak itulah aku dan warga kampung lainnya banyak yangmembutuhkan tenaga Jaja untuk membilahkayu. Warga kampung pun, jika Jaja datang selalu menyiapkan uangberwarna hijau, yaitu uang lembaran dua puluh ribuan untuk upah nampol suluhyang akan diberikan kepada Jaja si Duit Ijo.

 Tiga tahun kemudian pada saatwarga kampung benar-benar membutuhkan tenaga Jaja si Duit Ijo untuk membilahkayu, seiring dengan menghilangnya minyak tanah dari peredaran dan mahalnya gaselpiji yang terkadang sering terjadi kelangkaaan, terbetik berita, Jaja si DuitIjo telah tiada tertabrak kendaraan, ketika sedang menyebrang jalan untukmemenuhi panggilan membilah kayu dikampung lain. Innalillahi wainnailaihi  rojiun.

000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun