“Uang yang mana ?”
“Duit ijo dua, pokoknya duitijo duaaaa....”
“Duit ijo, maksudnya duit hijau?”
“Iyah dudu..duit ijo dua......”
Aku masih tetap kebingungan,apa yang dimaksudkan dengan duit ijo. Pada saat aku kebingghungan, jaja dengansecepat kilat menyambar uang kertas dua puluh ribu rupiah yang adaditanganku. Aku pun tersentak kaget,”Nah ini duit ijooooo...” ujarnya sambilcengengesesan.
Aku baru menyadari yang dimaksud duitijo oleh Jjaja, adalah uang berwarna hijau, yaitu uang kertas lembaran duapuluh ribu rupiah.
Kemudian aku menambahnya lagi dualembar uang pecahan lima ribuan, namun ia menolak hanya mau menerima dua lembarsaja uang kertas dua puluh ribuan.
Sedangkan uang yang lima puluh ribu dan dua lembar uang limaribuan oleh Jaja dikembalikan lagi kepadaku. Ia pun dengan rasa gembirameninggalkanku sambil menari-nari dan bernyanyi-nyanyi “Jaja duitijo..Jaja... duit ijo..Jaja duit ijo.....” ucapnya tiada henti sambil terusberlari dan mengangkat kapaknya yang tajam mengkilap.
Sejak itulah aku dan warga kampung lainnya banyak yangmembutuhkan tenaga Jaja untuk membilahkayu. Warga kampung pun, jika Jaja datang selalu menyiapkan uangberwarna hijau, yaitu uang lembaran dua puluh ribuan untuk upah nampol suluhyang akan diberikan kepada Jaja si Duit Ijo.
Tiga tahun kemudian pada saatwarga kampung benar-benar membutuhkan tenaga Jaja si Duit Ijo untuk membilahkayu, seiring dengan menghilangnya minyak tanah dari peredaran dan mahalnya gaselpiji yang terkadang sering terjadi kelangkaaan, terbetik berita, Jaja si DuitIjo telah tiada tertabrak kendaraan, ketika sedang menyebrang jalan untukmemenuhi panggilan membilah kayu dikampung lain. Innalillahi wainnailaihi rojiun.
000