BEBERAPA batang pohon kayu Ki Sapiyang telah kutebang dibiarkan tergeletak di belakang rumah, karena kesulitanmencari tukang nampol suluh (membilah kayu bakar). Maklum,sedang musim turun ke sawah, warga kampung yang biasa kuli membilah kayu bakar, sibuk kulimenggarap sawah.
Pada saat kesulitan mencari pemecahkayu bakar, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku bernama Jaja, menawarkanjasa untuk memecah kayu bakar. Tetapi, aku merasa ragu akankemampuannya, karena gerak-geriknya sangat mencurigakan. Bicaranya agak gagap.Kadang-kadang tertawa cengengesan,”Jangan-jangan orang ini, kurang waras...”pikirku.
“Jadi namamu Jaja ?”
“Iyah, saya sudah bilang ‘kan,nama saya Jaja,”
“Ya, ya...asalmu dari mana ?”
“Dari Kampung Singadita, kokbapak ini banyak tanya, kalau tidak percaya silakan selidiki ke KampungSingadita, nama saya sangat populer seperti bintang film,” ujar Jaja yangperawakannya kecil dan pendek itu.
“Saya perlu tahu, kamu kanorang yang baru saya kenal,”
“Oh jadi bapak menyelidik saya?”
“Maksudku bukan itu, tapi‘kan perlu tahu siapa kamu sebenarnya ?”
“Pokoknya jangan macam-macamyah, batangan kayu milik bapak akan saya pecahsemuanya. Pokoknya bapak tahu beres. Oke ...?” seraya menatapku lalu iamengeluarkan sebilah kapak alat membilahkayu bakar dari balik celananya.
Wah, gawat. Pikirku. Orang inipakai mengancam segala dan bicaranya belagu, oke oke segala. Ya, dari padamemikirkan tentang dia dengan sikapnya yang aneh-aneh, dan aku tidak mauberdebat, akhirnya ia kupersilakan untuk membilahkayu untuk dijadikan kayu bakar.