Unsur Kecacatan Materil:
1. Ketidaksesuaian isi fakta hukum dengan tuntutan: Gugatan tidak memenuhi persyaratan fakta hukum yang diperlukan untuk mendukung tuntutan yang diajukan.
2. Ketidakadilan akibat cacat kehendak: Misalnya, terdapat ancaman, paksaan, kekeliruan, penyalahgunaan keadaan, atau penipuan dalam pembuatan kontrak yang mengakibatkan ketidakadilan bagi salah satu pihak.
Dengan demikian, kecacatan dengan unsur formil berkaitan dengan prosedur hukum yang bersifat formalistik, sedangkan kecacatan dengan unsur materil berkaitan dengan substansi atau isi dari gugatan atau kontrak yang diajukan.
Dalam konteks putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (NO niet ontvankelijke), terdapat unsur-unsur kecacatan hukum yang perlu diperhatikan. Unsur kecacatan formil meliputi ketidakmemenuhi syarat formil gugatan, ketiadaan dasar hukum yang tepat dalam gugatan, dan ketidakjelasan dalam penyampaian gugatan. Sedangkan unsur kecacatan materil mencakup ketidaksesuaian isi fakta hukum dengan tuntutan yang diajukan serta ketidakadilan yang timbul akibat cacat kehendak, seperti ancaman, paksaan, kekeliruan, penyalahgunaan keadaan, atau penipuan.
Dengan demikian, kecacatan formil berkaitan dengan prosedur hukum yang formal, sedangkan kecacatan materil berkaitan dengan substansi atau isi dari gugatan atau kontrak yang diajukan. Mengetahui perbedaan antara kedua kecacatan ini penting dalam menilai validitas suatu tindakan atau perjanjian dalam konteks hukum.
KESIMPULAN:
Melalui refleksi yang mendalam terhadap konsep hukum dalam konteks filosofis, kita menyaksikan perjalanan panjang manusia dalam mengeksplorasi dan memahami hakikat hukum sebagai manifestasi dari keteraturan dan keseimbangan dalam realitas alam. Hukum bukan sekadar serangkaian aturan formal, tetapi juga cerminan dari esensi moral dan etika yang menggerakkan kehidupan manusia.
Sebagai pencarian akan kebenaran dan keadilan, hukum menjadi panggilan moral bagi setiap individu dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Dalam perjalanan menuju pencerahan dan pemenuhan makna hidup, tanggung jawab terhadap hukum bukanlah semata kewenangan pemerintah, melainkan panggilan jiwa yang mengalir dalam getaran keberadaan.
Dari setiap langkah yang diambil dalam kehidupan, masyarakat menemukan harmoni dalam partisipasi aktif untuk mengukir perubahan dan menjaga keberhasilan hukum. Dengan memahami dan menginternalisasi nilai-nilai moral yang mendasari setiap aturan, manusia tidak hanya menghormati hukum, tetapi juga memuliakannya sebagai landasan bagi keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang diidamkan oleh seluruh umat manusia.
Dengan demikian, dalam penutup yang mendalam ini, kita mengakui bahwa hukum bukanlah sekadar instrumen formal, tetapi juga manifestasi dari cita-cita manusia untuk mencapai keseimbangan, keadilan, dan kebenaran dalam hidup. Dalam memelihara dan menerapkan hukum, kita menegaskan eksistensi moralitas yang mengalir dalam setiap aspek kehidupan, membentuk fondasi yang kokoh bagi tatanan sosial yang adil dan beradab.