"Menapaki Jejak Hukum: Refleksi Filosofis tentang Keseimbangan, Keadilan, dan Tanggung Jawab Manusia"
Oleh Maman Abdurohman
Edisi Bilba
PENDAHULUAN
Hukum merupakan Konsekwensi Matematis yang melekat bersamaan dengan adanya ruang dan waktu, maka hukum membuat setiap entitas didalamnya terikat dengan sendirinya, setiap entitas merepresentasikan pola hukum seperti Jarak, batas, waktu, percepatan, kecepatan, Masa, suhu dan lain-lain. Hukum dengan setiap polanya membentuk Keteraturan dan Keseimbangan dalam realitas alam, sehingga disebut sebagai 'Noumena' Thing in itself dalam istilah yang dikenalkan Imanuel kant, inilah yang disebut esensi hukum. Tulisan ini akan mengeksplorasi konsep hukum sebagai fenomena, substansi, serta titik pergeseran konsep materil dan formil dalam setiap konteks melalui refleksi filosofis yang mendalam.
NOUMENA
Hukum Sebagai Instrumen Abstrak Untuk mewujudkn Kehendak Tuhan
Padamulanya hukum digambarkan sebagai manifestasi dari keteraturan dan keseimbangan yang merupakn konsekwensi dari realitas yang memiliki karakteristik tunggal yang Inhern dan tidak terdefinisi, bisa dikatakan hukum merupakan instrumen abstrak dari "Keinginan/ kehendak Tuhan". Keseimbangan dan keteraturan dilihat sebagai sumber dari hukum-hukum universal yang mengatur alam semesta, yang dapat dipandang sebagai manifestasi kongkrit dari prinsip-prinsip metafisik.
"Keteraturan dan keseimbangan" akan selalu menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa setiap yang teratur dan seimbang tidak bisa dikenali sebagai dua identitas yang terpisah, olehkarena demikian maka keteraturan dan keseimbangan itu tidak bisa direfleksikan sebagai nilai positif dan/atau negatif secara terpisah, bisa dikatakan ia inheren dan kohern secara bersamaan.
FENOMENA
Hukum sebagai dasar bagi manusia menyadari kebutuhannya
Pada perkembangannya, manusia mulai mengenali fenomena-fenomena alam sebagai sesuatu yang koheren, memicu kebutuhan untuk mendeskripsikan setiap fenomena tersebut. Fenomena, sebagai penampakan empiris dari noumena, menjadi dasar bagi manusia untuk menyadari kebutuhannya akan sesuatu. Melalui pengamatan, eksperimentasi, dan abstraksi, manusia dapat merumuskan dan memahami hukum-hukum yang mengatur alam dan sosial.
Fenomena, sebagai penampakan empiris dari noumena menjadi dasar bagi manusia untuk menyadari kebutuhannya akan sesuatu, sebagai contoh : Ketika Hujan atau panas manusia mulai menyadari kebutuhannya akan apa yang membuatnya tidak terkena hujan dan panas, ketika dingin manusia menyadari kebutuhannya terhadap apa yang bisa menghangatkan dirinya, ketika, ketika lapar manusia akan menyadari kebutuhannya terhadap apa yang membuatnya tidak lapar lagi, dan masih segudang contoh yang membentuk pola dan tingkah laku sosial.
Kebutuhan mendorongnya untuk merumuskan dan memahami hukum-hukum yang mengatur alam, serta pengaruhnya kepada kehidupan sosial. Melalui pengamatan, eksperimentasi, dan abstraksi terhadap fenomena-fenomena alam, manusia dapat menyingkap pola-pola, regularitas, dan prinsip-prinsip yang mendasari keberadaan dan perilaku alam semesta.
SUBSTANSI HUKUM
Sebagai dasar perumusan hukum-hukum universal
Noumena, sebagai realitas fundamental, menjadi dasar bagi hukum-hukum universal yang dipergunakan untuk mengatur alam semesta. Manusia, dengan kemampuan berpikir abstraknya, berperan sentral dalam proses perumusan, pengujian, dan penerapan hukum-hukum tersebut. Hukum-hukum yang dirumuskan manusia mencerminkan upaya untuk menangkap dan merefleksikan esensi noumena, memungkinkan manusia untuk memahami, memprediksi, dan mengendalikan fenomena-fenomena alam dan sosial dengan lebih baik.
Manusia, sebagai makhluk yang dianugerahi akal budi, berperan sentral dalam proses perumusan, pengujian, dan penerapan hukum-hukum yang mengatur alam. Melalui kemampuan berpikir abstrak, manusia dapat menangkap esensi noumena dan menurunkannya menjadi hukum-hukum yang dapat digunakan untuk memahami, memprediksi, dan mengendalikan fenomena-fenomena alam.
Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang noumena, fenomena, alam, dan peran manusia dalam memahaminya, dapat melahirkan Substansi hukum yang bersifat universal, objektif, dan dapat diverifikasi secara empiris. Hukum-hukum ini tidak hanya berlaku dalam domain sains dan teknologi, tetapi juga dapat diturunkan ke dalam bidang-bidang lain, seperti hukum sosial, ekonomi, atau bahkan hukum moral dan etika. Dari arah ini Hukum dikenali sebagai 'Fenomena', inilah yang disebut Substansi hukum.
Etika Sebagai Prinsip
Materil hukum adalah Substansi hukum atau prinsip hukum itu sendiri, yang akan menjadi dasar bagi terbentuknya peraturan-peraturan dibawahnya, yang selanjutnya substansi disebut 'tentang apa yang ingin dicapai'. Etika, sebagai prinsip yang mendasari hukum, menyoroti aspek moral dan nilai-nilai yang ingin diwujudkan atau dipertahankan dalam suatu masyarakat. Dalam konteks hukum, etika memberikan dasar bagi pembentukan dan interpretasi hukum, serta memandu perilaku manusia dalam interaksi sosial. Misalnya, prinsip-prinsip etika seperti keadilan, kebebasan, dan kesetaraan sering kali menjadi landasan bagi pembentukan hukum yang adil dan berkeadilan.
Undang-Undang Bersifat Normatif
Undang-Undang, sebagai implementasi konkret dari substansi hukum, memiliki sifat normatif dan formalistik yang memainkan peran penting dalam mengatur perilaku manusia dalam masyarakat. Normatifitasnya menegaskan kewajiban, larangan, dan hak-hak yang diatur dalam suatu sistem hukum, sedangkan formalistiknya menetapkan prosedur dan mekanisme penegakan hukum yang harus diikuti.
Undang Undang dan Legislasi
Melalui proses legislasi, undang-undang dibentuk untuk mencerminkan nilai-nilai, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat pada waktu tertentu. Ini berarti undang-undang bukanlah entitas statis, tetapi dapat berkembang melalui komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan substantif, misal seiring dengan perubahan dalam masyarakat dan kebutuhan yang timbul. Contohnya, dalam menanggapi perkembangan teknologi atau dinamika sosial-politik, undang-undang bisa direvisi atau dibentuk kembali untuk tetap relevan dan efektif.
Undang-Undang dan Eksekutif
Peran eksekutif dalam menerapkan undang-undang dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi dari prinsip eksekusi yang merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang pemenuhan tujuan hukum. Eksekutif bertindak sebagai pelaksana visi hukum yang terkandung dalam undang-undang, mengarahkan arus kehidupan masyarakat menuju keadilan dan ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.
Undang-Undang dan Legislatif
Proses legislasi merupakan cermin dari dinamika konseptual dalam pembentukan hukum, di mana lembaga legislatif berperan sebagai wadah bagi ide-ide dan nilai-nilai masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Filosofi di balik legislasi mencerminkan upaya untuk mencapai kesepakatan kolektif tentang prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi tatanan sosial yang diidamkan.
Undang-Undang dan Yudikatif
Dalam konteks filosofis, hubungan antara undang-undang dan yudikatif mencerminkan dinamika antara ketertiban hukum dan keadilan yang terwujud melalui proses peradilan. Undang-undang menjadi landasan hukum yang diterapkan dan ditafsirkan oleh sistem peradilan untuk menyelesaikan sengketa dan memberikan keputusan yang adil.
Dari sudut pandang filosofis, sistem peradilan memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa undang-undang diterapkan dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Hakim, sebagai penjaga interpretasi hukum, dihadapkan pada tugas memastikan bahwa keputusan mereka mencerminkan nilai-nilai moral yang mendasari undang-undang dan memenuhi standar keadilan yang objektif.
Dalam hubungan yang saling terkait antara undang-undang dan yudikatif, terdapat pertukaran konstan antara interpretasi hukum oleh hakim dan pembentukan undang-undang oleh lembaga legislatif. Interpretasi hukum yang tepat dan konsisten oleh hakim membantu melengkapi dan mengklarifikasi undang-undang, sementara undang-undang baru atau direvisi dapat mencerminkan putusan pengadilan yang berpaku pada prinsip-prinsip keadilan.
Dengan demikian, dalam kerangka filosofis, hubungan antara undang-undang dan yudikatif menjadi landasan bagi tegaknya keadilan dan kebenaran dalam sistem hukum, memastikan bahwa kekuasaan hukum tidak disalahgunakan dan hak-hak individu dihormati.
Undang-Undang dan Peradilan
Di tingkat peradilan, hukum harus menempatkan kebenaran dan keadilan sebagai pijakan utama. Hakim, sebagai penjaga interpretasi yang bijaksana, mempertimbangkan implikasi filosofis dari setiap keputusan yang mereka buat, memastikan bahwa penggunaan hukum adalah refleksi yang tepat dari nilai-nilai yang terkandung dalam undang-undang.
Dalam setiap aspek hubungan antara undang-undang dan pelaksanaannya, memberikan landasan yang mendalam bagi pemahaman tentang sifat dan tujuan hukum dalam membentuk masyarakat dan keadilan.
Undang-Undang Dan Tanggung Jawab
Penerapan undang-undang juga melibatkan interpretasi dan penegakan yang cermat. Para penegak hukum, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya, legislator dan para eksekutir memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa undang-undang diterapkan secara adil dan konsisten, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang mendasarinya.
Dengan demikian, undang-undang tidak hanya merupakan instrumen legal formal, tetapi juga merupakan cermin dari nilai-nilai moral dan etika yang dipegang oleh suatu masyarakat. Melalui undang-undang, prinsip-prinsip etika dapat diwujudkan dalam tatanan sosial yang lebih luas, membentuk dasar bagi keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang diinginkan oleh masyarakat.
a. Tanggung Jawab dan Legislasi
Tanggung jawab dalam legislasi mencerminkan prinsip moralitas yang melekat pada proses pembentukan undang-undang. Legislatif memiliki tanggung jawab moral untuk menghasilkan undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta mencerminkan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi. Dalam perspektif filosofis, legislator memiliki peran penting dalam membentuk tatanan sosial yang adil dan berkeadilan melalui hukum yang mereka ciptakan.
b. Tanggung Jawab dan Eksekusi
Tanggung jawab dalam eksekusi undang-undang mengacu pada prinsip moralitas dan keadilan dalam menjalankan kebijakan publik. Eksekutif memiliki tanggung jawab moral untuk menerapkan undang-undang dengan itikad baik, keadilan, dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pandangan filosofis, eksekutif bertindak sebagai penjaga moralitas dalam pelaksanaan hukum, dengan tujuan utama untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
c. Tanggung Jawab dan Yudikasi
Tanggung jawab dalam yudikasi menggarisbawahi peran hakim dan sistem peradilan dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Hakim memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan putusan yang adil dan objektif berdasarkan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip moral yang mendasarinya. Dalam konteks filosofis, yudikasi menjadi penjaga terakhir dalam melindungi hak-hak individu dan menjaga integritas sistem hukum sebagai penjaga keadilan dan kebenaran.
d. Tanggung Jawab dan Masyarakat
Tanggung jawab dalam konteks hukum adalah panggilan moral yang menggerakkan jiwa kolektif masyarakat, sebuah harmoni antara kewajiban dan kesadaran diri akan peran dalam menjaga keadilan sosial. Sebuah masyarakat yang terjaga adalah cermin dari kepatuhan terhadap hukum yang tidak hanya dijunjung tinggi oleh pemerintah, tetapi juga disaksikan dalam setiap tindakan dan sikap warga.
Dalam kebesaran makna tanggung jawab itu sendiri, masyarakat menemukan panggilan untuk tidak hanya mematuhi, tetapi juga mengawal keberhasilan hukum dalam menjaga keseimbangan dan keadilan. Mereka adalah penjaga setia prinsip-prinsip moral yang mendasari setiap aturan, membentuk cahaya dalam kegelapan ketidakadilan.
Partisipasi aktif masyarakat adalah simfoni harmoni dalam perjuangan menuju keberhasilan hukum. Dari titik pertemuan kehendak dan kepatuhan, lahirlah gerakan yang mengukir perubahan, menjelajahi sungai kehidupan menuju muara keadilan yang abadi. Di sinilah masyarakat mengungkapkan esensi kemanusiaannya, sebagai penjaga dan pelopor tatanan sosial yang adil dan beradab.
Bukan semata kewenangan pemerintah, tetapi panggilan jiwa yang memenuhi ruang dan waktu, meluas dari sudut pandang individual hingga menyatu dalam kesatuan kolektif yang menghormati dan memuliakan hukum. Dalam pesona filosofis tanggung jawab itu memperoleh makna yang mengalir dalam getaran keberadaan, mengingatkan bahwa setiap langkah adalah bagian dari perjalanan menuju pencerahan dan pemenuhan makna hidup.
DALAM KONTEKS REGULASI HUKUM
Undang-undang bersifat Materil
Dalam konteks ini Undang-undang bersifat materil menetapkan substansi atau isi dari hukum yang mengatur hubungan antara individu, organisasi, atau entitas dalam masyarakat. Ini mencakup aturan-aturan yang menetapkan hak dan kewajiban, sanksi bagi pelanggaran, serta mekanisme penyelesaian sengketa. Substansi hukum ini dapat berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi, dan lain sebagainya. Contohnya, undang-undang tentang hak-hak pekerja, perlindungan konsumen, atau peraturan lingkungan hidup merupakan contoh undang-undang materil yang menetapkan hak dan kewajiban dalam konteks tertentu.
Hukum acara bersifat Formil
Di sisi lain, hukum acara bersifat formil menetapkan prosedur dan tata cara yang harus diikuti dalam penegakan undang-undang dan penyelesaian sengketa. Ini mencakup prosedur pengajuan gugatan, persidangan, bukti-bukti yang dapat diterima, hingga penentuan putusan. Hukum acara memberikan kerangka kerja yang jelas dan teratur untuk menjamin bahwa proses hukum berjalan dengan adil dan efisien. Contoh dari hukum acara adalah KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang mengatur proses peradilan dalam perkara pidana di Indonesia, serta peraturan peradilan sipil yang mengatur proses peradilan dalam perkara perdata.
CACAT HUKUM DALAM KONTEKS PERADILAN
Cacat Formil:
Cacat hukum disebabkan karena tidak sesuai dengan hukum sehingga tidak mengikat secara hukum, biasanya sehubungan dengan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima yang dikenal sebagai NO niet ontvankelijke.
Secara prinsip, cacat hukum tetap terdiri dari dua unsur kecacatan, yaitu unsur materil dan formil. Namun, dalam konteks peradilan, istilah cacat hukum seringkali merujuk pada cacat formil saja, karena berkaitan dengan proses hukum yang bersifat formalistik.
Sehubungan dengan pendapat saya tentang hal ini adalah bahwa cacat hukum terjadi ketika suatu tindakan atau perjanjian tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga tindakan atau perjanjian tersebut tidak mengikat secara hukum. Secara prinsip, cacat hukum tetap akan terdiri dari dua unsur kecacatan, yaitu unsur materil dan formil, meskipun memang dalam konteks peradilan, istilah cacat hukum seringkali disebut sebagai cacat formil karena berkaitan dengan proses hukum yang bersifat formalistik.
Unsur-unsur kecacatan Hukum
Unsur Kecacatan Formil:
1. Gugatan tidak memenuhi syarat formil: Misalnya, tidak ditandatangani oleh kuasa berdasarkan surat kuasa yang sesuai dengan ketentuan yang diatur.
2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum: Artinya, gugatan tidak didasarkan pada landasan hukum yang tepat.
3. Ketidakjelasan dalam gugatan: Contohnya, tidak menyebut dengan jelas objek yang disengketakan atau tidak mencantumkan letak yang jelas dari objek sengketa.
Unsur Kecacatan Materil:
1. Ketidaksesuaian isi fakta hukum dengan tuntutan: Gugatan tidak memenuhi persyaratan fakta hukum yang diperlukan untuk mendukung tuntutan yang diajukan.
2. Ketidakadilan akibat cacat kehendak: Misalnya, terdapat ancaman, paksaan, kekeliruan, penyalahgunaan keadaan, atau penipuan dalam pembuatan kontrak yang mengakibatkan ketidakadilan bagi salah satu pihak.
Dengan demikian, kecacatan dengan unsur formil berkaitan dengan prosedur hukum yang bersifat formalistik, sedangkan kecacatan dengan unsur materil berkaitan dengan substansi atau isi dari gugatan atau kontrak yang diajukan.
Dalam konteks putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (NO niet ontvankelijke), terdapat unsur-unsur kecacatan hukum yang perlu diperhatikan. Unsur kecacatan formil meliputi ketidakmemenuhi syarat formil gugatan, ketiadaan dasar hukum yang tepat dalam gugatan, dan ketidakjelasan dalam penyampaian gugatan. Sedangkan unsur kecacatan materil mencakup ketidaksesuaian isi fakta hukum dengan tuntutan yang diajukan serta ketidakadilan yang timbul akibat cacat kehendak, seperti ancaman, paksaan, kekeliruan, penyalahgunaan keadaan, atau penipuan.
Dengan demikian, kecacatan formil berkaitan dengan prosedur hukum yang formal, sedangkan kecacatan materil berkaitan dengan substansi atau isi dari gugatan atau kontrak yang diajukan. Mengetahui perbedaan antara kedua kecacatan ini penting dalam menilai validitas suatu tindakan atau perjanjian dalam konteks hukum.
KESIMPULAN:
Melalui refleksi yang mendalam terhadap konsep hukum dalam konteks filosofis, kita menyaksikan perjalanan panjang manusia dalam mengeksplorasi dan memahami hakikat hukum sebagai manifestasi dari keteraturan dan keseimbangan dalam realitas alam. Hukum bukan sekadar serangkaian aturan formal, tetapi juga cerminan dari esensi moral dan etika yang menggerakkan kehidupan manusia.
Sebagai pencarian akan kebenaran dan keadilan, hukum menjadi panggilan moral bagi setiap individu dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Dalam perjalanan menuju pencerahan dan pemenuhan makna hidup, tanggung jawab terhadap hukum bukanlah semata kewenangan pemerintah, melainkan panggilan jiwa yang mengalir dalam getaran keberadaan.
Dari setiap langkah yang diambil dalam kehidupan, masyarakat menemukan harmoni dalam partisipasi aktif untuk mengukir perubahan dan menjaga keberhasilan hukum. Dengan memahami dan menginternalisasi nilai-nilai moral yang mendasari setiap aturan, manusia tidak hanya menghormati hukum, tetapi juga memuliakannya sebagai landasan bagi keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang diidamkan oleh seluruh umat manusia.
Dengan demikian, dalam penutup yang mendalam ini, kita mengakui bahwa hukum bukanlah sekadar instrumen formal, tetapi juga manifestasi dari cita-cita manusia untuk mencapai keseimbangan, keadilan, dan kebenaran dalam hidup. Dalam memelihara dan menerapkan hukum, kita menegaskan eksistensi moralitas yang mengalir dalam setiap aspek kehidupan, membentuk fondasi yang kokoh bagi tatanan sosial yang adil dan beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H