Sekali lagi people power  bukan dilakukan untuk memotong prosedur sengketa hasil pemilu seperti yang sudah diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang harus diputuskan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.Â
Tidak ada jalan pintas yang melanggar procedural dalam menentukan keputusan pengadilan atas sengeketa hasil pemilu. Hasil Pemilu yang terlegitimasi sangat kecil kemungkinannya diputuskan lewat parlemen jalanan.
Apabila hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan sengketa Pemilu dan sebagian besar masyarakat masih belum puas dengan keputusan tersebut, atau terlebih lagi kembali mencurigai marwah lembaga penentu keadilan terakhir tersebut terkungkung independensinya, maka barulah segenap rakyat Indonesia memiliki akalnya sendiri untuk menentukan langkah people power  yang manakah yang tepat untuk menyiasati degradasi keadilan dalam unsure pemerintahan saat ini dengan langkah yang dahsyat dan amat menentukan masa depan bangsa Indonesia.
Beberapa People power yang Pernah Terjadi
Filipina dalam medio 1965 -- 1985 dipimpin oleh seorang Ferdinan Edralin Marcos. Presiden Marcos selalu dipersepsikan oleh public sebagai tokoh yang otoriter. Selama masa kepemimpinannya Filipinan mampu melaksanakan swasembada pangan hingga mampu mengekspornya ke negara lain. Secara umum kondisi perekonomian nasional Filipina pada saat itu cukup stabil.Â
Namun kesenjangan sosial jelas terlihat dan isu korupsi semakin kencang menerpa pemerintahan Marcos. Hal tersebut tentu memunculkan kejahatan dan kerusuhan sipil di seluruh negeri (Overholt, 1986: 10).
Muncul kelompok oposisi yang menentang otoritarianisme pemerintah Marcos yang dipimpin oleh Benigno Aquino. Namun tahun 1983 Aquino meninggal dunia karena ditembak secara misterius saat dirinya baru saja kembali dari pengasingan dan berupaya kembali menggulingkah diktator Marcos.Â
Respon atas peristiwa tersebut diberikan oleh rakyat Filipina dengan menyelenggarakan protes keras yang menghasilkan suatu revolusi massa EDSA; Epifanio de los Santos Avenue, sebuah nama jalan di Metro manila yang menjadi tempat berlangsungnya protes tersebut.
Filipina selanjutnya akan melaksanakan pemilu pada tahun 1986. Revolusi EDSA masih terus berlanjut dan semakin memanas karena langkah Marcos yang melakukan manipulasi sitem pemilihan umum dengan menghilangkan sebagian hak suara masyarakat Filipina yang memiliki preferensi untuk memilih kandidat oposisi, yaitu Corazon Aquino dengan mengkonsolidasikan dan mengkondisikan Comelec; Comission of Election Republic of Philiphines, agar dapat kembali memenangkan suaranya untuk tetap menjadi presiden Filipina walau harus ditempuh dengan kecurangan.Â
Pada akhirnya Corazon Aquino menentang hasil pemilu tersebut serta mendorong terjadinya people power secara damai yang dilakukan selama empat hari berturut-turut pada tanggal 22 Februari hingga 25 Februari 1986. Gerakan people power ini disebut sebagai revolusi terbesar di Filipina yang pada akhirnya membuat Marcos diturunkan dari jabatannya sebagai presiden melalui revolusi EDSA (Djani, 2009).
Sedangkan Indonesia pernah mengalami people power untuk meminta rezim yang berkuasa secara konstitusional turun tahta pada tahun 1998 melalui gelombang reformasi. Gelombang reformasi tersebut sebagai respon atas langgengnya kekuasaan Soharto dan merespok terjadinya krisis ekonomi dan juga politik tahun 1988. Hanya saja people power tersebut adalah tidak dalam rangka menolak hasil pemilihan umum tahun 1997 yang memenangkan Golongan Karya (Golkar) yang secara otomotasi membuka pintu bagi Soeharto untuk berkuasa kembali.Â