Mohon tunggu...
MALIK NUR HALILINTAR
MALIK NUR HALILINTAR Mohon Tunggu... Administrasi - Aparatur Sipil Negara (ASN)

Pelayan Masyarakat. Semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemilu, People Power, dan Mentalitas Bangsa Indonesia

15 Mei 2019   16:01 Diperbarui: 15 Mei 2019   16:09 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Bangsa Indonesia adalah bukan bangsa yang menyerah dan pasrah pada ketidakadilan. Bangsa Indonesia juga bukanlah bangsa yang memiliki 'mentalitas menerabas' dalam membangun peradabannya yang berkelas"

Wacana dilaksanakannya people power  menjadi sangat popular di Indonesia menyusul perkembangan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum sejak tanggal 17 April 2019. People power merupakan suatu hasil kulminasi dari pertentangan antara klaim petahana maupun oposisi.

Pemerintah Republik Indonesia yang juga sedang dipimpin oleh petahana yang turut serta dalam kompetisi pemilihan calon presiden mengklaim bahwa Pemilu tahun 2019 kali ini dapat berjalan lancar, sukses, jujur dan adil. Namun di lain pihak, oposisi pemerintah yang digawangi oleh Prabowo Subianto dengan sangat lantang menyuarakan bahwa telah terjadi kecurangan pemilu yang terstuktur, massif, dan brutal.

Klaim pemerintah bahwa Pemilu 2019 telah berjalan dengan aman, damai, lancar, jujur dan adil terlontar dari setiap corong-corong petahana, tidak terkecuali Menkopolhukam; Wiranto dan juga Presiden Joko Widodo sendiri sebagai kontestan. Sehingga mampu kita simpulkan secara sederhana klaim tersebut adalah klaim dari pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat yang juga termasuk kontestan.

Pemerintah yang berdaulat adalah manifestasi kemapanan. Premis tersebut didasarkan atas fakta bahwa pemerintah adalah suatu institusi kekuasaan yang memiliki semua alat dan media untuk dapat memastikan agenda kebenaran menanungi kehidupan institusi negara. Suatu narasi dari sebuah kemapanan harus dibuktikan kebenarannya dengan metode ilmiah. Metode ilmiah yang tepat digunakan untuk menganalisis narasi dari kemapanan adalah metode anti kemapanan; yaitu metode falsifikasi (Karl Popper). Falsifikasi adalah metode yang mencari fakta-fakta yang tidak mendukung pembenaran sebuah narasi/gagasan untuk membatalkan sebuah kebenaran narasi. Hanya dengan metode itulah kita dapat tetap menghadirkan dialektika dalam memastikan kesahihan narasi pemerintah yang memiliki segala alat untuk merumuskan narasi yang sudah harus sangat absah.

Lain hal nya dengan petahana, oposisi juga memiliki misi menghadirkan dialektika yang dilakukan dengan menghadirkan kontra-narasi petahana. Oposisi sebagai pihak politik yang tidak sedang menjalankan kekuasaan, tentu memiliki keterbatasan alat dan sumber daya untuk memastikan kesahihan narasi yang dihasilkan. Sehingga memang oposisi identik dengan menghadirkan praduga. 

Oposisi dalam sistem politik demokrasi juga berkewajiban menghadirkan keyakinan pada rakyat bahwa penyelenggaraan negara; termasuk Pemilu dalam konteks ini, telah berjalan di atas rel kebenaran dan keadilan. 

Namun perlu diingat bahwa kebenaran dan keyakinan hakiki adalah kebenaran dan keyakinan yang telah melewati masa krisis, yaitu masa dimana keyakinan itu diragukan. Rene Descartes mengilhamkan kepada manusia yang rasional agar 'de omnibus dubitandum'. 

Terjemahan bebas dan liar atas dictum Descartes kira-kira adalah 'ragukan segala sesuatu hingga menemukan bukti yang mampu meyakinkanmu'. Sehingga jalan berpikir dan berikhtiar oposisi sudah memang seharusnya meragukan kesahihan pemerintah sebagai langkah awal yang dilanjutkan dengan mengumpulkan fenomena dan bukti yang mendukung objektifnya praduga yang dilayangkan. Metode berpikir yang tepat untuk oposisi adalah metode positivisme; memverifikasi kebenaran praduga/narasi dengan beberapa bukti.

Latar belakang prinsip demokrasi bahwa narasi pemerintah sudah selayaknya difalsifikasi dan narasi oposisi membutuhkan verifikasi yang sudah selayaknya memandu kita menganalisis dinamika hasil Pemilu Indonesia tahun 2019. 

Pemerintah yang segera mengumumkan penilaian bahwa Pemilu 2019 telah sukses, berjalan lancar, dan adil telah berhasil difalsifikasi oleh temuan-temuan kecurangan Pemilu 2019 oleh tim kampanye nasional kandidat oposisi; Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Narasi pemerintah dapat dilacak melalui laman ini . 

Narasi bahwa Pemilu telah dilaksanakan dengan curang dan tidak adil dari oposisi terverifikasi oleh temuan kecurangan yang sama, yang digunakan untuk memfalsifikasi narasi pemerintah telah berlangsung Pemilu yang damai, lancar, jujur dan adil. 

Peristiwa pelaporan pengungkapan kecurangan yang diduga dilakukan oleh pemerintah dilaporkan oleh oposisi kepada penyelenggaran pemilu. Sedangkan khusus untuk praduga salah input data C1 secara struktur dilaporkan juga.

Kesimpulan umum yang dapat kita tangkap adalah telah ada modal fakta yang cukup untuk kita sebagai sebuah kesatuan bangsa menghadirkan diskursus tentang kualitas pelaksanaan pemilu. Diskurus tersebut harus dan mesti dilakukan dengan menempuh jalur-jalur yang telah diatur oleh mekanisme demokrasi yang kita anut serta ketentuan konstitusi dan hukum positif Indonesia.

People power  bertentangan dengan Demokrasi?

People power  secara etimologis tentu dapat kita analisis berasil dari kata people; yang adalam istilah politik diartikan sebagai rakyat, dan kata power; yang dapat diterjemahkan bebas menjadi kata kekuasaan/kedaulatan. Sehingga secara etimologis people power  diartikan sebagai suatu kekuasaan rakyat. Definisi tersebut tentu identik sekali dengan definisi etimologis demokrasi, yang juga bermakna kekuasaan rakyat 'demos' dan 'cratien'.

Secara genealogi dan tafsir sejarah serta peristiwa, people power  dalam sebuah orde dunia yang diliputi oleh sistem pemerintahan demokrasi konstitusional, people power  telah mengalami penyempitan makna. People power telah diartikan secara popular sebagai sebuah aksi massa public yang massif dalam menyuarakan suatu aspirasi yang sudah tidak memungkinkan disampaikan lewat mekanisme konstitusional yang telah diatur. 

Tentu secara esensi tafsir genealogis tersebut didasarkan atas riwayat telah dilaksanakannya people power  di berbagai penjuru dunia. Tidak ada sebuah esensi people power yang bertentangan dengan demokrasi tentunya.

Robert A Dahl (1985: 10-11) dalam suatu kajian pentingnya tentang demokrasi, mengungkapkan kriteria bagi suatu sistem kehidupan demokrasi sebagai suatu konsep politik, meliputi :

  • Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat
  • Partisipasi efektif, yaitu kesempatan untuk semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif
  • Pembenaran kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalnnya proses politik dan pemerintahan secara logis.
  • Kontrol terhadap agenda, yaitu dijaminnya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda manakah yang harus atau tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan.
  • Pencakupan, yaitu terliputinya masyarakat mencakup setiap manusia dewasa dalam kaitannya sebagai subjek hukum.

Dalam menjelaskan konsepsinya tentang demokrasi, Dahl terlihat memberikan fokus tentang keterlibatan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan dan dijaminnya persamaan perlakukan negara terhadap semua warga negara sebagai unsur-unsur pokok demokrasi.

Analisis terhadap pendapat Dahl yang memberikan kita kesempatan mengkaji people power  dan kesesuaiannya terhadap demokrasi.

Pertama kriteria nomor tiga yaitu partisipasi efektif; kesempatan untuk semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, sangat erat kaitannya dengan people power. 

Pemilu yang nanti hasilnya akan disepakati merupakan sebuah keputusan kolektif warga bangsa untuk menentukan pemerintah yang terlegitimasi menjalankan kekuasaan ke depannnya. Kesemptan untuk warga negara dalam proses tersebut tentu kita artikan secara luas, mulai dari kesempatan untuk berpartisipasi menyuarakan aspirasi politiknya hingga mengawal hasil konsolidasi aspirasi politiknya bersama dengan warga negara lainnya.

Pembenaran kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis. Kriteria ini juga memberikan suatu rasionalisasi dari people power yang bertujuan untuk memastikan rakyat berpartisipasi dalam memberikan penilaiannya terhadap hajatan demokrasi. 

Diksi logis tersebut memberikan makna bahwa apabila terjadi segala yang yang tidak sesuai dengan prosedur dan prinsip keadilan, maka pilihan yang masuk akal adalah dengan melakukan protes terhadap penyelenggara dan juga pemerintah.

Setelah kita melakukan analisis etimologis, genesis, dan konseptual tentang people power dan demokrasi, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat kita pahami. Kesimpulan tersebut kita susun berdasarkan alur berpikir induktif; menyimpulkan beberapa analisis khusus untuk menghasilkan kesimpulan umum. Sehingga kesimpulan secara umum menyatakan bahwa people power  tidak bertentangan sedikit pun dengan prinsip dan esensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang menganut paham demokrasi.

People power Apakah Menjadi Pilihan yang Tepat ?

Rakyat harus berdaulat terlepas mungkin saja banyak pihak benalu demokrasi ingin mengamankan kemenangan dengan manjalankan banyak siasat manipulasi yang sesat. Namun bangsa Indonesia sejurunya harus kita akui bersama memiliki tanggung jawab masa depan untuk mematahkan serta membantah kebenaran kesimpulan dari seorang sosiolog Kontjoroningrat yang menyimpulkan bahwa secara umum bangsa Indonesia memiliki 'mentalitas menerabas'. 

Koentjoroningrat (1990) mengungkapkan bahwa mentalitas menerabas bangsa Indonesia tercirikan melalui langkah-langkah mencapai tujuan umum maupun pribadi dengan tidak sesuai procedural dan aturan serta ingin menempuh jalan pintas. 

Pemilu 2019 sebagai suatu momentum besar yang juga sangat menentukan dan memberikan kesempatan kita untuk membuktikan dalam sejarah peradaban bahwa bangsa kita tidak bermentalkan 'mentalitas menerabas'. 

Hal tersebut mengamanatkan bahwa sudah semestinya kita sebagai bangsa menyelesaikan diskursus demokrasi tentang kualitas proses dan hasil Pemilu 2019 agar dapat dilaksanakan secara konstitusional, bukan lewat langkah-langkah yang brutal.

Sehingga langkah people power sebelum diumumkannya hasil Pemilihan Umum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Juni 2019 adalah tidak lebih sebagai suatu aksi massa dari rakyat untuk menyuarakan sebuah warning agar penyelenggara Pemilu 2019 dapat melaksanakan dan melanjutkan rangkaian proses Pemilu 2019 secara adil, transparan, dan professional serta terlepas dari pengaruh dan intimidasi oleh pihak-pihak manapun. 

Warning tersebut juga untuk mengingatkan agar pihak yang secara sengaja ingin memanipulasi hasil Pemilu 2019 hati-hati karena dapat berhadapan dengan massa rakyat yang siap mengawal hasil pemilu.

Sekali lagi people power  bukan dilakukan untuk memotong prosedur sengketa hasil pemilu seperti yang sudah diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang harus diputuskan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi. 

Tidak ada jalan pintas yang melanggar procedural dalam menentukan keputusan pengadilan atas sengeketa hasil pemilu. Hasil Pemilu yang terlegitimasi sangat kecil kemungkinannya diputuskan lewat parlemen jalanan.

Apabila hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan sengketa Pemilu dan sebagian besar masyarakat masih belum puas dengan keputusan tersebut, atau terlebih lagi kembali mencurigai marwah lembaga penentu keadilan terakhir tersebut terkungkung independensinya, maka barulah segenap rakyat Indonesia memiliki akalnya sendiri untuk menentukan langkah people power  yang manakah yang tepat untuk menyiasati degradasi keadilan dalam unsure pemerintahan saat ini dengan langkah yang dahsyat dan amat menentukan masa depan bangsa Indonesia.

Beberapa People power yang Pernah Terjadi

Filipina dalam medio 1965 -- 1985 dipimpin oleh seorang Ferdinan Edralin Marcos. Presiden Marcos selalu dipersepsikan oleh public sebagai tokoh yang otoriter. Selama masa kepemimpinannya Filipinan mampu melaksanakan swasembada pangan hingga mampu mengekspornya ke negara lain. Secara umum kondisi perekonomian nasional Filipina pada saat itu cukup stabil. 

Namun kesenjangan sosial jelas terlihat dan isu korupsi semakin kencang menerpa pemerintahan Marcos. Hal tersebut tentu memunculkan kejahatan dan kerusuhan sipil di seluruh negeri (Overholt, 1986: 10).

Muncul kelompok oposisi yang menentang otoritarianisme pemerintah Marcos yang dipimpin oleh Benigno Aquino. Namun tahun 1983 Aquino meninggal dunia karena ditembak secara misterius saat dirinya baru saja kembali dari pengasingan dan berupaya kembali menggulingkah diktator Marcos. 

Respon atas peristiwa tersebut diberikan oleh rakyat Filipina dengan menyelenggarakan protes keras yang menghasilkan suatu revolusi massa EDSA; Epifanio de los Santos Avenue, sebuah nama jalan di Metro manila yang menjadi tempat berlangsungnya protes tersebut.

Filipina selanjutnya akan melaksanakan pemilu pada tahun 1986. Revolusi EDSA masih terus berlanjut dan semakin memanas karena langkah Marcos yang melakukan manipulasi sitem pemilihan umum dengan menghilangkan sebagian hak suara masyarakat Filipina yang memiliki preferensi untuk memilih kandidat oposisi, yaitu Corazon Aquino dengan mengkonsolidasikan dan mengkondisikan Comelec; Comission of Election Republic of Philiphines, agar dapat kembali memenangkan suaranya untuk tetap menjadi presiden Filipina walau harus ditempuh dengan kecurangan. 

Pada akhirnya Corazon Aquino menentang hasil pemilu tersebut serta mendorong terjadinya people power secara damai yang dilakukan selama empat hari berturut-turut pada tanggal 22 Februari hingga 25 Februari 1986. Gerakan people power ini disebut sebagai revolusi terbesar di Filipina yang pada akhirnya membuat Marcos diturunkan dari jabatannya sebagai presiden melalui revolusi EDSA (Djani, 2009).

Sedangkan Indonesia pernah mengalami people power untuk meminta rezim yang berkuasa secara konstitusional turun tahta pada tahun 1998 melalui gelombang reformasi. Gelombang reformasi tersebut sebagai respon atas langgengnya kekuasaan Soharto dan merespok terjadinya krisis ekonomi dan juga politik tahun 1988. Hanya saja people power tersebut adalah tidak dalam rangka menolak hasil pemilihan umum tahun 1997 yang memenangkan Golongan Karya (Golkar) yang secara otomotasi membuka pintu bagi Soeharto untuk berkuasa kembali. 

Namun lebih memfokuskan untuk merespok sinyal kegagalan pemerintahan Soeharto dalam menanggulangi krisis ekonomi tahun 1998 serta merupakan puncak kekecewaan rakyat atas kondisi sosial politik Indonesia yang terjangkiti penyakit Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta rezim yang dijalankan dengan otoriter. 

Hasilnya tentu kita ketahui bersama gelombang people power oleh segenap mahasiswa Indonesia dan segenap rakyat Indonesia berhasil memaksa Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Sehingga jelas perbedaan antara people power yang dilaksanakan di Filipina tahun 1986 dengan people power yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. People power di Filipina tahun 1986 adalah upaya people power untuk menolak dan menentang langsung hasil pemilihan umum yang tidak jujur, sedangkan people power di Indonesia tahun 1998 adalah bukan merupakan respon langsung menolak hasil pemilu. 

People power di Indonesia lebih merupakan puncak kekecewaan masyarakat Indonesia yang bersambut dengan kondisi krisis ekonomi dan multidimensional yang menyebabkan tuntutan reformasi dan pergantian kekuasaan dari rezim Soeharto.

Konteks dan kondisi saat ini akan sangat ditentukan oleh militansi rakyat yang ingin memastikan demokrasi benar-benar dilaksanakan secara adil dan transparan tanpa manipulasi. 

Apabila militansi rakyat yang ingin demokrasi sesuai esensi masih tinggi sesaat setelah pengumuman hasil pemilu dan juga kesimpulan atas hasil yang disengketakan di penjaga gawang terakhir keadilan; MK, maka model people power  yang pertama menjadi sangat besar kemungkinannya direplikasi dari Filipina dan dilaksanakan di Indonesia.

Sedangkan jika antusiasme dan militansi rakyat rendah serta menerima pasrah hasil pemilu, maka terlaksanaanya people power  akan ditentukan dengan integritas kandidat terpilih dalam melaksanakan janji-janji kampanyenya serta kemampuan dalam melakukan rekonsiliasi kebangsaan setelah hadirnya pendikotomisan bangsa secara tajam akibat perbedaan pilihan politik. 

Apabila pemerintah terpilih hasil Pemilu 2019 yang krisis legitimasi gagal mengelola dinamika kebangsaan tersebut, menjadikan model people power kedua menjadi sangat memungkinkan untuk terjadi di Indonesia.

Rakyat Indonesia akan melaksanakan protes missal melalui langkah people power atau tidak akan melaksanakannya sangat bergantung pada independensi para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga gawang terakhir ekpektasi keadilan masyarakat Indonesia. 

Sehingga saya sangat mengharapkan kearifan dan kebijaksanaan para hakim MK untuk dapat memutuskan keputusan terbaik dan yang adil agar hasil Pemilu 2019 memiliki legitimasi yang kuat di mata rakyat untuk melanjutkan ihktiar membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat.

Sebuah Kesimpulan Sementara Untuk Indonesia Raya

Reaksi segenap bangsa Indonesia menyikapi masa yang genting dalam Pemilu 2019 akan abadi dalam sejarah peradaban manusia. Langkah-langkah picik, tidak demokratis, brutal, dan tidak konstitusional akan mencoreng bangsa dan negara kita selamanya.

Apabila baik petahana maupun oposisi saling curiga menduga rival kontestasinya melakukan pelanggaran, maka sudah sepantasnya pemerintah sebagai manifestasi kepentingan negara dan bangsa bukan kepentingan yang sedang berkuasa harus memfasilitasi pembuktian setiap kecurigaan yang dipersepsikan masyarakat dan terverifikasi lewat fakta yang ditemukan. 

Sehingga apabila memang semuanya berikhtiar untuk kepentingan bangsa, kehadiran Tim Pencari Fakta kecurangan Pemilu yang merupakan tim independen mendesak untuk dibentuk. Tidak ada alasan yang cukup logis untuk menghambat atau menghalangi pembentukan Tim Pencari Fakta tersebut.

Mari arif dan bijaksanalah hai seluruh anak bangsa Indonesia. Indonesia tidak boleh hancur hanya karena nafsu kuasa yang saling dipaksakan dalam Pemilu 2019. Inilah saatnya kita membuktikan kepada dunia dan sejarah manusia, bahwa "Bangsa Indonesia adalah bukan bangsa yang menyerah dan pasrah pada ketidakadilan. Bangsa Indonesia juga bukanlah bangsa yang memiliki 'mentalitas menerabas' dalam membangun peradabannya yang berkelas".

Saya akan lanjutkan membahas tentang esensi post-people power yang tidak boleh kita lewatkan dalam membahas langkah selanjutnya kita sebagai bangsa dalam melanjutkan menenun kebangsaan menuju bangsa Madani yang berdaulat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun