Setahun yang lalu, berita nasional  dihebohkan oleh adanya tindakan pembakaran dua ruang sekolah oleh seseorang berinisial MA. Kejadian ini terjadi di Wilayah Garut, Jawa Barat. (Dilansir Kompas.com)
Berita pembakaran institusi pendidikan tersebut sontak membuat publik bertanya-tanya, "Siapa pelakunya dan apa motif yang menyulut sehingga sosok MA mau melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan dan merugikan semua orang ini?"Â
Bagaimana tidak, ketika sebuah sekolah dirusak pastilah banyak yang dirugikan. Negara rugi karena harus membangun gedung baru atau merenovasinya dengan biaya yang tidak  sedikit. Guru dan anak-anak sekolah juga rugi karena tidak bisa menjalani rutinitas kegiatan pembelajaran. Tentu saja masyarakat juga rugi,  karena biaya pembangunan itu tentu saja berasal dari pungutan pajak dari masyarakat.
Satu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang menurut berita yang dirilis tersebut dikarenakan rasa sakit hati karena uang honor sejumlah 6 juta tidak juga dibayarkan, meskipun beliau sudah bekerja selama 24 tahun di lembaga tersebut.
Tentu saja kita semua pasti terheran-heran dan tidak pernah menyangka  mengapa sosok guru honorer dan bekerja di sekolah tersebut bisa melakukan aksi buruk itu? Padahal sekolah hanyalah institusi yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan tersebut, sedangkan kesalahan sebenarnya bisa jadi berasal dari pihak pengelola sekolah itu.Â
Dalam hal ini kepala sekolah dan jajarannya mungkin turut menyumbang rasa kecewa dan dendam yang mendalam selama bertahun-tahun dialami oleh MA tersebut. Meskipun akhirnya pihak dinas pendidikan setempat akhirnya membayar uang yang selama ini ditunggu-tunggu.Â
Ibarat kata, nasi sudah menjadi bubur. Seandainya pembayaran uang honorer itu lancar, mungkin saja sekolah tersebut tidak akan jadi korbannya.
Setahun berselang, kini hadir lagi berita yang juga membuat bulu kuduk merinding akibat seorang anak mau melakukan aksi yang sama seperti apa yang di lakukan warga Garut tersebut, yaitu sosok siswa SMP berinisial R berasal dari Temanggung yang tega membakar sekolahnya sendiri.Â
Hal tersebut dilakukan karena R merasa kesal dan kecewa karena mengalami perundungan dari teman-temannya. Aksi pembakaran ini terjadi dini hari, Selasa (27/06/2023). Setelah melakukan aksinya, R akhirnya berhasil ditangkap oleh pihak berwajib.
Dua kasus pembakaran yang dilakukan oleh orang yang berbeda dengan usia yang relatif jauh jaraknya, dengan motif yang sama, yaitu DENDAM.Â
Nah, persoalan dendam ini adalah sebuah akumulasi dari rasa kecewa bertahun-tahun atau sekian lamanya karena apa yang seharusnya mendapatkan haknya tak juga terpenuhi. Pelampiasan buruknya adalah dengan melakukan aksi nekat yang akhirnya membawanya pada sanksi pidana.
Menelaah kedua kasus tersebut sebenarnya bisa terjadi pada siapapun. Kedua sosok manusia yang sama-sama memiliki perasaan, hati maupun pemikiran atas kebutuhan untuk dipenuhi hak-haknya ternyata selama ini begitu terabaikan. Pihak MA melakukan kejahatan itu karena demdam hak gaji honornya yang tidak diberikan. Hal ini masuk ke ranah materi. Materi yang dihambat untuk diberikan pada yang berhak pada akhirnya justru menjadi reaksi yang merugikan banyak pihak.
Bagaimana dengan  R, siswa SMP yang masih berusia 14 tahun ini pun berani melakukan kejahatan tersebut yang boleh jadi terinispirasi dari berita-berita di media sosial, atau desas-desus dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang secara tidak langsung menginspirasi sang anak untuk melakukan aksi yang melampaui batas.
Berawal karena merasa kesal mendapatkan perundungan dari teman-temannya yang boleh jadi aksi tersebut tidak juga mendapatkan solusi dari sekolah atau guru kelas dan BK-Nya, dampaknya adalah bagaimana si pelaku melampiaskan amarahnya pada sekolah yang selama ini telah menjadi tempat menuntut ilmu.Â
Padahal jika melihat apa fungsi sekolah, maka kejadian seperti ini semestinya tidak terjadi. Secara nyata, R tidak mendapatkan haknya dalam keamanan, kenyamanan, empati dan penghormatan dari pihak lain. Selain itu R tidak mendapatkan hak diterima dan kasih sayang dari teman-teman satu sekolahnya.
Mengutip jurnalasia.com, bahwa penyebab anak melakukan penyimpangan perilaku diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Kepribadian.
Menurutnya, faktor kepribadian seseorang  turut memiliki andil besar dalam menentukan seseorang berkelakuan baik atau sebaliknya berkelakuan buruk.
Hal ini tentu berdasarkan kodrat anak, hakekatnya mereka mempunyai kepribadian masing-masing. Baik sejak lahir maupun bentukan dari lingkungan. Bagaimana setiap anak hakekatnya memiliki potensi untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Dan  apabila lingkungan keluarga maupun masyarakat keliru memberikan asupan gizi terhadap kepribadiannya, maka sang anak akan bertumbuh menjadi generasi yang juga berpribadian buruk.
Bahkan menurut para psikolog, usia remaja merupakan masa berbahaya. Sebab pada masa ini seseorang tumbuh dan meninggalkan masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa ini dirasakan sebagai masa krisis identitas dimana mereka mengalami dunia yang labil.
2. Faktor Keluarga
Keluarga adalah institusi pertama yang turut menyumbang tumbuh kembangnya kepribadian seorang anak. Mengapa? Karena dari sanalah anak lahir dan tumbuh menjadi dewasa, dan dari sanalah sumber pengetahuan, rasa dan karsa pertama akan mereka dapatkan.Â
Maka tak heran, ketika  anak-anak ini lahir dan dibesarkan di dalam keluarga yang harmonis dan bahagia, besar kemungkinan anak-anak tersebut pun tumbuh menjadi generasi yang baik. Meskipun tidak menutup  kemungkinan ada faktor luar yang memicu pembentukan kepribadian anak.
Maka dari itu keluarga dan masyarakat (termasuk sekolah) adalah tempat terbaik  dalam menyemai benih-benih kebudayaan, seperti halnya diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Modul 1 Filosifi Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Jika keluarga dan sekolah menempatkan anak-anak ini pribadi yang istimewa, maka kedua institusi ini seharusnya menjadikan mereka generasi yang istimewa dan tuntunan yang juga menuntun laku hidup baiknya menjadi manusia yang selaras dengan kodrat yang dimilikinya.
 3. Faktor Hubungan di sekolah
Seperti apa yang dialami oleh R tersebut mengapa ia mau membakar sekolahnya sendiri? Ternyata diketahui disebabkan karena aksi perundungan oleh teman-temannya.
Padahal sekolah adalah tempat di mana anak-anak menjadikannya sebagai rumah kedua. Dan guru-guru serta teman-temannya hakekatnya adalah keluarga kedua yang turut menghiasi dan mewarnai kepribadian anak.
Jika dari keluarga anak sudah mendapatkan masalah dan rentan dengan miss-harmoni hubungan di antara mereka, ditambah lagi dengan persoalan yang muncul di sekolah, tentu masalahnya semakin bertubi-tubi. Ibarat bola api yang menunggu ia membesar hingga membakar segala-galanya.
Sekolah seharusnya  menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk menuntut ilmu, dan bukan sebaliknya menjadi tempat yang meneror kebebasan dan kebahagiaannya.
Bagaimana semua warga sekolah seharusnya memahami ini, bahwa setiap individu yang ada di sekolah tersebut membutuhkan layanan yang prima dan perhatian yang istimewa. Jangan ada pembeda, dikotomi, diskriminasi, baik karena tingkat ekonomi keluarga, agama, latar belakang suku, Â dan asal daerah, karena hal ini justru membentuk pribadi-pribadi yang merusak.
Kita boleh bangga dengan capaian sekolah dengan Akreditasi A misalnya, tapi jika  melihat fenomena kekerasan pada anak yang begitu meluas dan memprihatinkan, tentu hal ini sungguh menyedihkan.
4. Lingkungan Masyarakat
Sebagai bagian dari proses pembentukan kepribadian anak, lingkungan masyarakat sangat menetukan bagaimana tabiat anak ini bertumbuh, apakah menjadi baik atau sebaliknya.Â
Boleh dikatakan bahwa masyarakat sangat bersinggungan dengan kebiasaan anak. Bagaimana mereka bergaul dengan teman-teman, berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, dan bagaimana lingkungan ini memandang anak-anak. Apakah sosok yang harus dijaga bersama-sama atau justru membiarkan  mereka terjerumus dalam prilaku yang menyimpang. Sebut saja ketika anak-anak terlibat tawuran atau perkelahian di jalan raya, seyogyanya masyarakat dapat  menjadi penengah sebelum aksi berbahaya ini terjadi dan bukan sebaliknya malah mendukung.
Tindakan spontan namun terukur dalam  mencegah pelanggaran anak terhadap norma masyarakat tentu menjadi faktor penentu bagaimana terbentuknya prilaku anak nantinya.
Menempatkan kepala sekolah dan guru sebagai manajer bagi anak
Selama ini banyak sekolah seperti tempat yang menciptakan monster-monster bagi anak-anak. Seperti memberikan hukuman yang ternyata justru tidak sesuai dengan apa kadar kesalahan dan tidak tepat diberikan bagi persoalan anak sebenarnya. Bahkan hukuman-hukuman ini acapkali justru menyakiti fisik dan psikisnya. Rasa sakit secara fisik adalah sebuah tindakan yang nyata-nyata tidak dibenarkan seperti mencubit, memukul atau melakukan aktivitas yang memberatkan anak. Apalagi hukuman yang bersifat psikis, yaitu mempermalukan sang anak.
Seperti apabila sang anak terlambat masuk sekolah, ternyata guru memerintahkan anak tersebut untuk berlari keliling lapangan sebanyak 10 x, atau melakukan push-up sebanyak 50 x. Tentu saja ini belum tepat sasaran. Apalagi sampai harus memukul, menyubit, mempermalukan di depan kelas dengan menunjuk, memarahi, memaksanya berdiri dengan satu kaki, dan teman-temannya menertawakannya selayaknya sosok pesakitan yang telah melakukan tidakan pidana berat.
Padahal bagaimanapun kesalahannya, apalagi yang tidak  fatal, seorang anak tetaplah sosok yang secara psikis masih mengalami perkembangan dan membutuhkan tuntunan yang lebih, agar kehidupannya terarah. Bukan justru memberikan hukuman yang pada akhirnya menimbulkan dendam atau sakit hati yang berakibat aksi perusakan atau perbuatan kurang baik lain yang tentu semua pihak tidak menghendakinya.
Dan saat ini, ternyata pemberian hukuman dan sanksi pun dianggap kurang tepat, kenapa? Meskipun anak telah diberikan sanksi, maka di lain waktu sang anak kemungkinan akan mengulangi lagi manakala sanksi itu dianggap enteng dan bisa diselesaikan dengan mudah.Â
Padahal yang dikehendaki adalah bagaimana sang anak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan guru semestinya mengarahkan pada hal-hal konklusif yang berasal dari pemahaman anak. Anak  akan menemukan sendiri jawaban-jawaban dan solusi atas masalah yang mereka temui, tanpa memberikan hukuman dan beban yang lebih dari kemampuannya.
Dalam teori restitusi yang dikembangkan oleh Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Dicipline, 2001 menyatakan bahwa disiplin ini berkonotasi pada disiplin diri dari anak-anak. Sehingga anak-anak dapat menggali potensinya menuju sebuah tujuan, dihargai dan bermakna. Bagaimana posisi siswa dengan kontrol dirinya akan menentukan bagaimana berdisiplin diri dan memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang dihargai. Anak memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya dan mendasari tindakannya pada kebajikan universal.Â
Dengan tindakan atau laku anak yang berdasar pada kontrol diri dan keyakinan diri akan nilai-nilai kebajikan, maka akan membawa anak-anak tersebut bertanggung jawab, mandiri dan merdeka dengan apa yang akan dan telah dilakukannya.Â
Mereka menyadari semua kesalahan sebagai sebuah konsekuensi setiap makhluk berpotensi melakukan kesalahan, serta alasan apa yang mendasarinya, namun kemudian sang anak akan dibawa pada keyakinan diri, keyakinan kelas dan sekolah yang akan menjadi acuan bagaimana mereka berbuat dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan yang telah diyakininya.
Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan anak bagaimana mencari solusi atas masalahnya, dan membantu anak berpikir tentang orang yang mereka inginkan dan bagaimana mereka memperlakukan orang lain. (Chelsom Gossen, 1996, dalam pasundanekspress.co)
Dengan restitusi diharapkan anak-anak menyadari sendiri kesalahannya dan ia mampu menyelesaikan masalahnya di kemudian hari. Menjadi pribadi yang bertanggung jawab, mandiri dan merdeka.
Salam
Metro, 3 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H