Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Anak Lepas Kendali, Siapa yang Salah? Sebuah Kritik terhadap Tata Kelola Emosi Anak

3 Juli 2023   20:20 Diperbarui: 10 Juli 2023   13:30 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak korban perundungan di sekolah. Sumber: Pexels/Mikhail Nilov

4. Lingkungan Masyarakat

Sebagai bagian dari proses pembentukan kepribadian anak, lingkungan masyarakat sangat menetukan bagaimana tabiat anak ini bertumbuh, apakah menjadi baik atau sebaliknya. 

Boleh dikatakan bahwa masyarakat sangat bersinggungan dengan kebiasaan anak. Bagaimana mereka bergaul dengan teman-teman, berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, dan bagaimana lingkungan ini memandang anak-anak. Apakah sosok yang harus dijaga bersama-sama atau justru membiarkan  mereka terjerumus dalam prilaku yang menyimpang. Sebut saja ketika anak-anak terlibat tawuran atau perkelahian di jalan raya, seyogyanya masyarakat dapat  menjadi penengah sebelum aksi berbahaya ini terjadi dan bukan sebaliknya malah mendukung.

Tindakan spontan namun terukur dalam  mencegah pelanggaran anak terhadap norma masyarakat tentu menjadi faktor penentu bagaimana terbentuknya prilaku anak nantinya.

Menempatkan kepala sekolah dan guru sebagai manajer bagi anak

Selama ini banyak sekolah seperti tempat yang menciptakan monster-monster bagi anak-anak. Seperti memberikan hukuman yang ternyata justru tidak sesuai dengan apa kadar kesalahan dan tidak tepat diberikan bagi persoalan anak sebenarnya. Bahkan hukuman-hukuman ini acapkali justru menyakiti fisik dan psikisnya. Rasa sakit secara fisik adalah sebuah tindakan yang nyata-nyata tidak dibenarkan seperti mencubit, memukul atau melakukan aktivitas yang memberatkan anak. Apalagi hukuman yang bersifat psikis, yaitu mempermalukan sang anak.

Seperti apabila sang anak terlambat masuk sekolah, ternyata guru memerintahkan anak tersebut untuk berlari keliling lapangan sebanyak 10 x, atau melakukan push-up sebanyak 50 x. Tentu saja ini belum tepat sasaran. Apalagi sampai harus memukul, menyubit, mempermalukan di depan kelas dengan menunjuk, memarahi, memaksanya berdiri dengan satu kaki, dan teman-temannya menertawakannya selayaknya sosok pesakitan yang telah melakukan tidakan pidana berat.

Padahal bagaimanapun kesalahannya, apalagi yang tidak  fatal, seorang anak tetaplah sosok yang secara psikis masih mengalami perkembangan dan membutuhkan tuntunan yang lebih, agar kehidupannya terarah. Bukan justru memberikan hukuman yang pada akhirnya menimbulkan dendam atau sakit hati yang berakibat aksi perusakan atau perbuatan kurang baik lain yang tentu semua pihak tidak menghendakinya.

Dan saat ini, ternyata pemberian hukuman dan sanksi pun dianggap kurang tepat, kenapa? Meskipun anak telah diberikan sanksi, maka di lain waktu sang anak kemungkinan akan mengulangi lagi manakala sanksi itu dianggap enteng dan bisa diselesaikan dengan mudah. 

Padahal yang dikehendaki adalah bagaimana sang anak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan guru semestinya mengarahkan pada hal-hal konklusif yang berasal dari pemahaman anak. Anak  akan menemukan sendiri jawaban-jawaban dan solusi atas masalah yang mereka temui, tanpa memberikan hukuman dan beban yang lebih dari kemampuannya.

Dalam teori restitusi yang dikembangkan oleh Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Dicipline, 2001 menyatakan bahwa disiplin ini berkonotasi pada disiplin diri dari anak-anak. Sehingga anak-anak dapat menggali potensinya menuju sebuah tujuan, dihargai dan bermakna. Bagaimana posisi siswa dengan kontrol dirinya akan menentukan bagaimana berdisiplin diri dan memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang dihargai. Anak memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya dan mendasari tindakannya pada kebajikan universal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun