Sebutir kelereng tiba-tiba menggelinding di depanku.Â
Kelereng itu terpental karena terlalu kuat di mainkan oleh anak-anak di kampungku. Cukup semarak menghiasi hari yang cukup terik.Â
Meski cuaca saat ini seperti menusuk kulit karena panas yang tak terkira, ternyata anak-anak masih bercengkrama dengan mainan tradisional itu. Ada senyum rasa sukur dari wajah-wajah lugu itu.
 Meskipun suasana masih diselimuti oleh berita tentang virus corona, nyatanya tidak memutus harapan anak-anak ini untuk menikmati kehidupan yang sebenarnya.Â
Ada bahagia yang memancar dari wajah anak-anak itu, tapi ada pula yang tengah merenung dan duduk sendirian di bawah pohon nangka dengan dedaunan yang lebat.Â
Saya kurang begitu mengerti mengapa anak kecil ini menyendiri dan tidak mau berbaur? Apa gerangan yang terjadi mengapa raut wajahnya berbeda dari anak-anak lainnya? Batinku penuh tanda tanya.
Kudekati anak itu, seketika kulontarkan pertanyaan sederhana.
"Kenapa kamu di sini? Dede nggak ikut mainan kelereng? Teman-temanmu asik mainan lho. Kok kamu malah terlihat murung? Eneng opo Le?"(Ada apa nak?)
Anak ini masih membisu.
Aku mengenali Dede ketika lebaran. Dia berkunjung ke rumah dengan pakaian yang ala kadarnya. Tak nampak seperti keluarga mampu, atau keluarga seperti tak mampu membelikan pakaian baru untuknya berlebaran.Â
Kutanya pada teman-temannya, katanya sang ayah merantau dan tidak pulang-pulang.
Bertahun-tahun yang lalu meninggalkan keluarganya untuk mencari sesuap nasi, segantang permata dan semangguk kebahagiaan. Tapi alangkah sedihnya, setelah bertahun-tahun menanti ternyata sang ayah tak kembali.Â
Tak tahu pasti apa yang terjadi. Apakah sang ayah lupa bahwa sang buah hati merindukannya sepanjang waktu. Bahkan air hujan seakan-akan sebagai penghias malam-malam hening mereka. Rasa rindu akan kehangatan dekapan ayah rasa-rasanya sulit untuk dia rasakan kembali.
Kutatap lebih lekat, anak itu nampak diam seribu bahasa, tak bereaksi meskipun tatapanku mengarah padanya. Mematung dan bergeming di tempat duduknya. Sedangkan jari-jemarinya memainkan tanah dengan lidi di tangan. Rambutnya kusut, matanya pucat dan warna kulit menghitam dan kotor seperti jarang mandi. Sungguh kondisi anak yang kurang terawat.
Meskipun kulihat dia masih anak-anak, nyata wajahnya tidak polos lagi. Ada segudang persoalan yang seperti membelenggu pikirannya.Â
Entahlah, sebelum aku tanya apa masalahnya, ternyata ia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata. Aku hanya bisa memandangi dari kejauhan, dan dia berlalu hingga tenggelam di antara rimbunan rerumputan.
Batin kecilku menyimpan secawan tanya, kucoba menggali informasi dari anak-anak yang tadinya bermain, yang kini tengah duduk menunggu giliran melempar kelereng di tangannya.Â
"Le, si Dede ngopo? Kog meneng wae? (Dik, ada apa dengan Dede? Kok dia diam saja?)
Ada apa dengannya? Tanyaku pesanaran.Â
Lelaki yang sebaya dengan Dede itu menjawab, "Nggak ngerti lho Pakde, paleng de'e kangen bapake." (Tidak ngerti lho Paman, mungkin dia kangen ayahnya)Â
"Lah, emang ayahnya di mana?" Tanyaku penuh selidik lagi.Â
"Jerene ijek nang Malaysia. (Katanya masih di Malaysia)Â Bapake nggak balek-balek." Ayahnya tidak pulang-pulang)
Tak terasa ada rasa haru lahir dari dadaku. Ada sejumput iba yang tiba-menghampiri. Betapa anak sekecil ini harus menanggung kerinduan pada sang ayah, meskipun sang ayah seolah-olah tak lagi peduli. Asik dengan dunianya sendiri. Entahlah, aku tak tahu pasti mengapa kepergian sang ayah seperti tergulung ombak. Sedangkan anak kecil ini, menantinya tampa kepastian.
Aku merasa terjebak ironi ini, hingga tak mampu lagi membayangkan bagaimana anak ini harus merasakan kerinduan yang dalam melihat ayahnya kembali.
 Jangankan anak yang masih bau kencur itu, dirikupun tak mampu lagi membayangkan kehilangan keluarga untuk waktu yang cukup panjang tanpa kabar. Apakah masih hidup atau sudah tiada.Â
Aku penasaran, kucoba untuk mengunjungi rumah anak tadi, tak  nampak ada bahagia di sana. Rumah berdiding bata merah itu nampak tidak terawat. Halaman begitu banyak sampah berserakan. Rerumputan liar berpacu dengan waktu.Â
Mentari mulai menyingsing, langit nampak berwarna jingga.
Dari luar, nampak seorang wanita setengah baya memasuki rumah sederhana itu. Nampaknya ia adalah sang ibu dari anak yang kutemui tadi siang.Â
Sang ibu begitu nampak lelah bekerja seharian, sedangkan anak-anaknya di rumah bersama dengan anaknya tertua yang lulusan SMP. Tiga tahun lalu menyelesakan SMP dan harus rela meninggalkan mimpinya untuk melanjutkan ke SMA karena ketiadaan biaya.
"Mbak, kerja di mana?" Tanyaku.
"Saya penjaga toko di Pasar Cendrawasih, Mas. Alhamdulillah beberapa bulan setelah ayahnya tak lagi berkirim kabar." Ceritanya.
"Selama ini, bagaimana Mbak menghidupi anak-anak? Apa dari penjaga toko cukup membiayai hidup anak, Mbak" Tanyaku lagi.
"Aku berusaha untuk tidak berpangku tangan dan membanting tulang untuk mencari sesuap nasi, agar aku bisa menghidupi anak-anakku. Siapa lagi yang bisa mencukupi kebutuhan anak-anak, kalau bukan saya." Tuturnya.
"Bayangkan, Mas, selama ditinggal suami bekerja di Malaysia, hanya dua kali berkirim uang dan berkirim kabar. Itupun  hanya bisa untuk membayar hutang suami sewaktu hendak berangkat merantau. Sedangkan sisa-sisa hutangnya masih ada yang harus saya bayar."
Berutung si pengutang memberiku kesempatan untuk mengangsur. Tapi jika tak terbayar, maka rumahku pastilah berpindah tangan, disita, Mas. Kalau disita anak-anak mau tinggal di mana?" Nampak matanya berkaca-kaca. Sedangkan aku bak patung yang gak bisa berbuat apa-apa.
Betapa susahnya menjalani kehidupan ini, apalagi semenjak ditinggal sang suami. Dengan empat anaknya yang masih butuh kasih sayang.Â
Batinku turut merasa sesak. Aku nggak bisa berkata-kata lagi. Aku biarkan dia melepaskan kesedihannya.Â
Meski hanya dengan bercerita mudah-mudahan hatinya kembali lapang.
Sesaat kemudian, tak sengaja aku melihat ada awan di wajahnya, dan sudut matanya mulai basah. Aku tak berani bertanya-tanya lagi, aku khawatir kesedihannya semakin berat.
Aku terdiam sejenak, menyelami segenap rasa sedih yang seperti membuatnya tenggelam dalam derita. Kesedihan itu semakin bertambah ketika anak-anaknya jatuh sakit. Sayangnya keluarganya tidak begitu peduli dengan apa yang dirasakannya kini.
Sebenarnya bagi dirinya, tak sulit untuk menikah lagi dan mencari ayah untuk anak-anaknya.Â
Maklum, wajah wanita tersebut masih menarik. Karena memang usia relatif muda. Akan tetapi ia adalah seorang yang pekerja keras dan tidak terlalu memperdulikan kondisi suaminya. Baginya saat ini adalah berpasrah dan berdoa, semoga keadaan bisa berubah.
Jika saat ini ada kabar baik, maka itu adalah buah dari doa-doa yang dia panjatkan setiap malam.
Keluhnya bercerita, "suatu ketika aku bermimpi suamiku pulang dengan membawa uang yang banyak. Betapa bahagianya kala itu, karena suami berhasil dalam merantau. Sayangnya semua hanyalah mimpi. Ketika terbangun, tak nampak wajah sang suamiku, hanya foto yang masih menempel di dada."
"Mbak tidak bertanya pada agen yang membawa suami mbak ke Malaysia? Tanyaku penasaran.
Dengan wajah lesu ia menjawab "aku sudah capek Mas, setiap aku tanya ke pihak agen, dia selalu menjawab dengan jawaban yang tidak meyakinkan." Paparnya.
"Bagaimana aku nggak jengkel, kalau ditanya katanya suamiku baik-baik saja, tapi tidak tahu entah di mana. Kutanya tak ada jawaban pasti, dan semua hanyalah janji-janji palsu yang katanya ingin menghubungi suamiku. Bahkan yang membuat aku marah pernah pihak agen yang mengatakan bahwa suamiku sudah menikah lagi dengan wanita lain."Â
"Aku marah bercampur sedih, tapi aku tidak percaya begitu saja dengan cerita si agen, sebelum kulihat fotonya yang sudah berdua dengan wanita lain."Â
Dengan sabar aku dengarkan penuturannya. Sampai-sampai aku tak sadar suasana semakin gelap, dan adzan shalat maghrib berbunyi. Aku pamit dan beranjak pergi.
Dua hari kemudian
"Aku nggak tega melihat wanita itu. Aku ingat betapa wanita itu butuh pertolongan. Kucoba membantunya mencari keberadaan suaminya."
Kuhubungi agen tenaga kerja di Jakarta. Kutelusuri melalui dokumen-dokumen yang ada di kantor PJTKI dan kuketahui di mana sebenarnya suami dari wanita itu berada.
Tak perlu berpikir panjang, akupun nekat melakukan perjalanan ke Malaysia. Di sana aku cari kabar di mana pria itu berdasarkan informasi yang aku terima. Dan betapa kagetnya, Â ternyata kusaksikan pria ini tengah dengan seorang wanita cantik dengan usia yang masih muda. Nampak dua sosok tersebut keluar dari dalam Mall dan mengendarai sebuah mobil sedan berwarna putih.Â
"Apa dia suami yang tidak bertanggung jawab itu?" Tanyaku sambil menatap foto keluarga yang sempat aku minta sebelum ke sini.
Dengan mengendarai taksi, aku kejar mobil itu dan sampailah ke sebuah rumah yang tidak terlalu mewah. Yah, cukuplah untuk seorang pekerja yang sudah mapan. Dengan gaetan wanita cantik tentu usahanya sudah berhasil. Sayangnya dia lupa bahwa anak istri menanti di rumah dengan deraian air mata.
Ku dekati rumah itu, kutanya pada tetangga rumahnya, dan kudapatkan jawabannya bahwa lelaki itu memang sudah lama hidup berdua dengan wanita cantik. Hubungan itu nggak tahu atas dasar apa, menikah atau hanyalah kumpul kebo.
"Permisi, apakah Anda tahu orang yang ada di foto ini ya? Wajahnya berubah kaget dan panik. Sekali lagi kutanya, "Apa mas kenal orang ini?Â
Pria itu tak menjawab. Ia tetap saja menikmati rokok di tangannya. Ia hisap dan hembuskan asapnya. Sekali lagi ia mengamatiku sesaat.
"Kamu siapa? Saya nggak kenal. Â Pergi! Saya nggak ada urusan dengan kamu. Lagian saya gak kenal juga siapa kamu."Â
Pria ini menolak menjawab dan berusaha tidak mengenali wajahku. Padahal dia adalah tetangga sekampungku.
Tiba-tiba wanita cantik keluar dari dalam rumah, dan bertanya, "Siapa, Kak? Apa dia kawan Kakak? Tanya wanita itu dengan logat Malaysia.
"Bukan, kakak nggak kenal dengan lelaki ini. Entah dia dari mana kok ke sini mengaku-ngaku tetangga desaku." Jono meyakinkan pacarnya agar tidak curiga.
"Hei, pergi kamu! Gak usah mengaku-ngaku tetanggaku. Saya gak kenal siapa kamu!" Sekali lagi pria ini menolak mengakui bahwa aku adalah tetangganya.
"Maaf, Mbak, lelaki ini dicari-cari istrinya karena lama tak pulang." Jelasku.Â
Tak kusangka wajah wanita itu merah padam.Â
"Benar apa kata orang ini?" Tanya wanita cantik di hadapannya. Jono tak bereaksi.
"Apa benar kalau Kakak punya istri di Indonesia? Kalau benar, berarti Kakak berbohong? Kakak bilang gak punya istri?"Â
Sekali lagi wanita itu bertanya pada Jono. Dan lagi-lagi wanita itu bisa dibohonginya.Â
"Nggak, Dik." Dia laki-laki pembohong. Dia ingin merusak hubungan kita." Jono mengelak.
Tak sabar, akupun menunjukkan foto keluarga Jono. Wajah yang awalnya seperti tak berdosa itu kini layu, pucat seperti kehilangan darah.Â
"Ooo jadi Kakak sudah berbohong. Kakak menipuku? Aku nggak menyangka Kakak sungguh tega mengaku duda sedangkan di Indonesia masih memiliki keluarga. Terbuat dari apa hati Kakak?" Jono masih membisu. Ia tak lagi mampu menyimpan rasa bersalahnya.
"Kalau Kakak sudah berbohong, lebih baik aku pergi. Pulanglah ke Indonesia dan temui istrimu. Â Â Aku tak sudi melanjutkan hubungan ini. Aku tak tega ada hati yang tersakiti dan anak-anak yang terlantar karena ulah ayahnya yang tidak bertanggung jawab."
Wanita itu kembali melanjutkan ocehannya yang seakan-akan telah tersadar bahwa selama ini sudah ditipu lelakinya.
Setelah itu, aku beranjak pergi dan kembali ke Indonesia. Aku temui lagi istri Jono. Sedangkan Jono masih tetap di Malaysia.Â
Aku tak peduli apakah dia kembali atau tetap berada di negeri Jiran itu. Yang penting niatku untuk membantu istrinya sudah aku lakukan.Â
Tak kusangka, istri Jono justru berniat menghubungi Jono lewat PJTKI. Ia hanya ingin suaminya pulang meskipun tanpa  uang sepeserpun.Â
Sang istri rela menerimanya, meskipun ditinggal bertahun-tahun. Sama seperti anak-anaknya yang selama ini menantikan kehadiran sang ayah.Â
Sayangnya ketika dia sampai di PJTKI, apa yang diharapkannya justru berbeda. Bukannya berita suaminya yang hendak pulang, tapi justru sebaliknya, kabar bahwa sang suami tewas kecelakaan karena ditabrak lari oleh seseorang yang tidak dikenali.
"Maaf, Mbak, mbak harus tabah ya Mbak?" Kata seorang wanita di hadapannya. Wajah yang awalnya cerita kini terlihat panik.Â
"Emang ada apa dengan suami saya, Mbak? Suami saya apa sudah sampai Jakarta? Tanyanya dengan suara memburu.
"Maaf mbak, suami mbak kecelakaan dan tewas di tempat." Dengan wajah takut wanita itu menceritakan kondisi Jono.
Wajah yang sumringah tak terasa tiba-tiba berganti mendung, ketika terdegar kabar bahwa suaminya telah tewas. Â
Air mata pun tumpah begitu derasnya. Hingga semua orang hanya bisa menghibur dengan kata-kata sabar.Â
Ia tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ada beban berat yang ia pikul karena harus menyampaikan berita duka ini kepada anak-anaknya. Â Bisiknya "Kenapa sih Mas, kau begitu lama pergi tanpa kabar, sedangkan kau pulang tinggal jasad? Kenapa kamu tega Mas pada aku dan anak-anakmu?"Â
Suaranya lirih sedangkan kakinya terus melangkah pergi dengan deraian air mata yang terus mebasahi pipi.
Sesampai di rumah, didapati orang-orang berkumpul di bawah tenda warna biru berdiri di depan rumah. Sedangkan anak-anaknya berlari memeluk ibunya dengan linangan air mata.
"Mak, bapak ninggal. Bapak wes nggak eneng." (Mah, ayah sudah meninggal dunia, Bapak sudah nggak ada), sambil memeluk jasad sang ayah yang sudah dibungkus kain mori, dengan sisa bercak dara di bagian kepalanya.
Senja itu nampak begitu mengharukan. Begitu dalam kepedihan yang dialami sang ibu dan anak-anaknya.Â
Aku hanya membisu, tak sengaja mata ini turut basah, tak sampai hati melihat semuanya.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H