Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hujan di Senja Hari

15 Agustus 2020   23:24 Diperbarui: 17 Agustus 2020   22:03 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang istri rela menerimanya, meskipun ditinggal bertahun-tahun. Sama seperti anak-anaknya yang selama ini menantikan kehadiran sang ayah. 

Sayangnya ketika dia sampai di PJTKI, apa yang diharapkannya justru berbeda. Bukannya berita suaminya yang hendak pulang, tapi justru sebaliknya, kabar bahwa sang suami tewas kecelakaan karena ditabrak lari oleh seseorang yang tidak dikenali.

"Maaf, Mbak, mbak harus tabah ya Mbak?" Kata seorang wanita di hadapannya. Wajah yang awalnya cerita kini terlihat panik. 

"Emang ada apa dengan suami saya, Mbak? Suami saya apa sudah sampai Jakarta? Tanyanya dengan suara memburu.

"Maaf mbak, suami mbak kecelakaan dan tewas di tempat." Dengan wajah takut wanita itu menceritakan kondisi Jono.

Wajah yang sumringah tak terasa tiba-tiba berganti mendung, ketika terdegar kabar bahwa suaminya telah tewas.  

Air mata pun tumpah begitu derasnya. Hingga semua orang hanya bisa menghibur dengan kata-kata sabar. 

Ia tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ada beban berat yang ia pikul karena harus menyampaikan berita duka ini kepada anak-anaknya.  Bisiknya "Kenapa sih Mas, kau begitu lama pergi tanpa kabar, sedangkan kau pulang tinggal jasad? Kenapa kamu tega Mas pada aku dan anak-anakmu?" 

Suaranya lirih sedangkan kakinya terus melangkah pergi dengan deraian air mata yang terus mebasahi pipi.

Sesampai di rumah, didapati orang-orang berkumpul di bawah tenda warna biru berdiri di depan rumah. Sedangkan anak-anaknya berlari memeluk ibunya dengan linangan air mata.

"Mak, bapak ninggal. Bapak wes nggak eneng." (Mah, ayah sudah meninggal dunia, Bapak sudah nggak ada), sambil memeluk jasad sang ayah yang sudah dibungkus kain mori, dengan sisa bercak dara di bagian kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun