"Jerene ijek nang Malaysia. (Katanya masih di Malaysia)Â Bapake nggak balek-balek." Ayahnya tidak pulang-pulang)
Tak terasa ada rasa haru lahir dari dadaku. Ada sejumput iba yang tiba-menghampiri. Betapa anak sekecil ini harus menanggung kerinduan pada sang ayah, meskipun sang ayah seolah-olah tak lagi peduli. Asik dengan dunianya sendiri. Entahlah, aku tak tahu pasti mengapa kepergian sang ayah seperti tergulung ombak. Sedangkan anak kecil ini, menantinya tampa kepastian.
Aku merasa terjebak ironi ini, hingga tak mampu lagi membayangkan bagaimana anak ini harus merasakan kerinduan yang dalam melihat ayahnya kembali.
 Jangankan anak yang masih bau kencur itu, dirikupun tak mampu lagi membayangkan kehilangan keluarga untuk waktu yang cukup panjang tanpa kabar. Apakah masih hidup atau sudah tiada.Â
Aku penasaran, kucoba untuk mengunjungi rumah anak tadi, tak  nampak ada bahagia di sana. Rumah berdiding bata merah itu nampak tidak terawat. Halaman begitu banyak sampah berserakan. Rerumputan liar berpacu dengan waktu.Â
Mentari mulai menyingsing, langit nampak berwarna jingga.
Dari luar, nampak seorang wanita setengah baya memasuki rumah sederhana itu. Nampaknya ia adalah sang ibu dari anak yang kutemui tadi siang.Â
Sang ibu begitu nampak lelah bekerja seharian, sedangkan anak-anaknya di rumah bersama dengan anaknya tertua yang lulusan SMP. Tiga tahun lalu menyelesakan SMP dan harus rela meninggalkan mimpinya untuk melanjutkan ke SMA karena ketiadaan biaya.
"Mbak, kerja di mana?" Tanyaku.
"Saya penjaga toko di Pasar Cendrawasih, Mas. Alhamdulillah beberapa bulan setelah ayahnya tak lagi berkirim kabar." Ceritanya.
"Selama ini, bagaimana Mbak menghidupi anak-anak? Apa dari penjaga toko cukup membiayai hidup anak, Mbak" Tanyaku lagi.